Fatwa Tata Cara Pelaksanaan Shalat Idul Fitri Dan Idul Adha
Bismillahirrahmanirrahim
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya pada tanggal 24 Rabi’ Ats-Tsani 1422 H, bertepatan dengan tanggal 16 Juli 2001 M, yang membahas tentang Tata Cara Pelaksanaan Shalat Idul Fitri dan Idul Adha[1], setelah :
Menimbang:
1. Bahwa shalat Idul Fitri adalah shalat sunnah muakkad bagi umat Islam sesudah mereka melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Sedangkan shalat Idul Adha adalah shalat sunnah muakkad bagi umat Islam sesudah para jamaah haji melaksanakan wukuf di padang Arafah.
1. Bahwa di antara tujuan disyari’atkannya shalat Idul Fitri dan Idul Adha adalah untuk meningkatkan kualitas iman dan taqwa umat Islam; menampakkan syiar agama Islam; mempererat ukhuwah islamiyah serta persatuan dan kesatuan umat; di samping mensyukuri kemenangan umat Islam dalam menahan hawa nafsu selama bulan suci Ramadhan serta dalam melaksanakan prosesi ibadah haji bagi para jamaah haji.
1. Bahwa pada umumnya, seluruh lapisan umat Islam sangat antusias dalam melaksanakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha sehingga setiap mushala, masjid, dan lapangan-lapangan yang tersebar luas di berbagai pelosok diselenggarakan shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Bahkan banyak di antara pengurus masjid, mushala serta organisasi-organisasi Islam yang secara khusus membentuk panitia untuk mengatur ketertiban pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
1. Bahwa untuk mencapai tujuan disyari’atkannya shalat Idul Fitri dan Idul Adha sebagaimana disebutkan di atas, maka Komisi Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta memandang perlu untuk segera memfatwakan tentang Tata Cara Pelaksanaan Shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
Mengingat:
1. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia (PD/PRT MUI)
2. Pokok-Pokok Program Kerja MUI Provinsi DKI Jakarta Tahun 2000 – . Pedoman Penetapan Fatwa MUI
Memperhatikan:
Saran dan pendapat para ulama peserta rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 24 Rabi’ Ats-Tsani 1422 H, bertepatan dengan tanggal 16 Juli 2001 M, yang membahas tentang Tata Cara Pelaksanaan Shalat Idul Fitri dan Idul Adha.
Memutuskan:
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT dan memohon ridha-Nya memfatwakan sebagai berikut:
1. Seluruh umat Islam, termasuk kaum wanita dan remaja-remaja putri meskipun sedang haid, sangat disunnahkan (sunnah muakkad) menghadiri pelaksanaan shalat ‘Ied (Idul Fitri dan Idul Adha) dengan maksud untuk mensyiarkan agama Islam. Hanya saja, wanita yang sedang haid tidak boleh melaksanakan shalat dan hanya disunnahkan membaca takbir serta mendengarkan khutbah. Sedangkan umat Islam yang lain disunnahkan melaksanakan shalat, membaca takbir serta mendengarkan khutbah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ummi ‘Athiyyah RA :[2]
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ
“Ummu ‘Athiyyah berkata: Kami diperintahkan Rasulullah SAW untuk mengerahkan mereka (putri-putri remaja, dewasa dan yang sedang haid) keluar ke tempat pelaksanaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun wanita yang sedang haid maka mereka menjauhi (tidak mengerjakan shalat) tetapi cukup menyaksikan kebaikan (syiar Islam) dan mendengarkan khutbah (Hadits Bukhari Muslim).
1. Shalat ‘Ied (Idul Fitri dan Idul Adha) yang dilakukan umat Islam dua kali dalam setahun, sunnah dan lebih afdhal dilaksanakan di lapangan terbuka di luar masjid dan jika memungkinkan dipusatkan di suatu lapangan terbuka yang mampu menampung umat Islam dalam jumlah besar yang berasal dari lingkungan atau wilayah yang lebih luas. Hal ini didasarkan pada hujjah (argumentasi), serta hikmah dan manfaat sebagai berikut:
1. Mengikuti contoh teladan yang dilakukan Rasulullah SAW dan para sahabat yang sengaja mengerahkan umat Islam untuk melaksanakan shalat ‘Ied di tanah lapang di luar pintu masuk sebelah timur kota Madinah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits, sebagai berikut:[3]
كان يخرج فى العيدين الى المصلى الذى على باب المدينة الشرقي بينه و بين المسجد ألف ذراع قال ابن شيبة قال ابن القيم و هو الذى يوضع فيه محمل الحاج و لم يصل العيد بمسجده الا مرة واحدة لمطر بل كان يفعلها فى المصلى دائما و مذهب الحنيفة أن صلاتها بالصحراء أفضل من المسجد و قال المالكية و الحنابلة الا بمكة و قال الشافعية الا فى المساجد الثلاثة فأفضل لشرفها و يخرج حال كونه رافعا صوته باالتكبير و التهليل و بهذا أخذا الشافعى و فيه رد على أبي حنيفة فى ذهابه على أن رفع الصوت بالتكبير فيه بدعة مخالف للأمر فى قوله تعالى واذكر ربك فى نفسك تضرعا و خيفة و دون الجهر
“Sesungguhnya Rasulullah SAW selalu melaksanakan shalat dua hari raya (shalat Idul Fitri dan Idul Adha) di mushala, yaitu tanah lapang yang terletak di sebelah timur pintu masuk kota Madinah; dan beliau tidak pernah melaksanakan shalat hari raya di masjid kecuali satu kali karena turun hujan”.
2. Menampakkan syi’ar agama Islam yang agung, ketika umat Islam yang bertempat tinggal di satu kelurahan, kecamatan atau kabupaten berbondong-bondong keluar dari rumah masing-masing dari segala penjuru menuju ke satu lapangan terbuka, tempat pelaksanaan shalat ‘Ied sambil membahanakan suara takbir di sepanjang jalan, kemudian berkumpul dan duduk bersama-sama beratapkan langit dan berlantaikan bumi Allah tanpa ada perbedaan kelas, derajat dan golongan; mereka sama-sama menghadap Allah SWT untuk melaksanakan shalat ‘Ied dan mendengarkan siraman rohani tahunan melalui khutbah ‘Ied yang disampaikan oleh seorang ulama, maka betul-betul menampakkan syi’ar Islam yang memantulkan persaudaraan dan persatuan umat Islam. Sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam surat al-Hajj ayat 32:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ (٣٢)
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar –syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati”. [QS. Al-Hajj (22):32
3. Menumbuh-kembangkan, membina, memelihara, dan memupuk rasa persaudaraan serta persatuan antar sesama umat Islam. Hal ini dapat dipahami dari filosofi shalat berjamaah. Shalat maktubah yang dilakukan lima kali sehari semalam, umat Islam sangat dianjurkan -bahkan menurut sebagian ulama diwajibkan- berjamaah di masjid atau mushala. Hal itu dimaksudkan agar umat Islam lebih intens melakukan silaturrahim dengan sesama muslim yang hidup dalam lingkungan kecil (RT atau RW). Shalat Jum’at yang dilaksanakan sekali dalam seminggu, umat Islam diwajibkan melaksanakannya secara berjamaah di masjid Jami’ atau tempat ibadah lain yang mampu menampung umat Islam lebih banyak dan berasal wilayah yang lebih luas lagi (tingkat RW atau kelurahan). Hal ini dimaksudkan agar umat Islam secara berkala dapat melakukan silaturrahim dengan sesama muslim yang hidup dalam lingkup yang lebih luas (tingkat RW atau kelurahan). Dalam kesempatan itu, khatib menyampaikan khutbah yang berisi pengajaran dan bimbingan yang sesuai dengan kepentingan (kemaslahatan) masyarakat setempat. Shalat Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha yang dilakukan setahun dua kali, umat Islam diperintahkan untuk melaksanakannya di tanah lapang, di tempat yang lebih luas. Hal itu dimaksudkan agar umat Islam secara berkala setahun dua kali dapat melakukan silaturrahim dengan sesama muslim yang hidup dalam lingkungan yang lebih luas lagi (tingkat kelurahan atau kecamatan). Dalam kesempatan tersebut khatib menyampaikan khutbah pilihan yang sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi umat Islam pada tahun itu. Kemudian ketika melaksanakan ibadah haji, khususnya ketika wukuf di Padang Arafah, umat Islam dapat melakukan silaturrahim dengan sesama muslim dalam lingkup internasional.
4. Jika di suatu wilayah (desa/kelurahan/kecamatan) terdapat orang-orang Islam yang benar-benar ‘uzur karena sudah berusia lanjut atau sedang menderita sakit sehingga tidak mampu melakukan shalat ‘Ied di lapangan terbuka yang mungkin jaraknya agak jauh, maka mereka dapat melaksanakannya di masjid atau mushala terdekat. Untuk melayani mereka, hendaknya imam (pemimpin Islam) menunjuk seseorang untuk memimpin pelaksanaan shalat ‘Ied di masjid atau mushala yang ditinggalkan oleh sebagian besar umat Islam karena melaksanakan shalat ‘Ied di lapangan. Dalam istilah hukum Islam, hal ini disebut istikhlaf(استخلاف) sebagaimana disebutkan dalam Kitab al-Qolyubi:[4]
“Bila imam pergi (untuk melaksanakan shalat ‘Ied) di lapangan, maka hendaklah ia menunjuk pengganti orang lain yang akan memimpin shalat ‘Ied bersama orang-orang yang lemah, semisal orang-orang yang sudah tua renta dan orang-orang yang sakit, sebagaimana Sayyidina Ali menunjuk Abu Mas’ud al-Anshari sebagai pengganti untuk keperluan itu”.
5.Memperbanyak tempat shalat ‘Ied (Idul Fitri dan Idul Adha) di mushala-mushala, di masjid-masjid atau lapangan-lapangan yang jaraknya sangat bedekatan antara satu dengan yang lainnya dengan jumlah jamaah tidak cukup memenuhi masing-masing tempat shalat ‘Ied adalah hukumnya makruh dan tidak sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya agar umat Islam menampakkan syi’ar Islam serta membina persaudaraan dan persatuan di antara mereka. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab al-Bajuri, Juz I halaman 233:[5]
“Sebagaimana disebutkan dalam Kitab al-Anwar, bahwa pelaksanaan shalai ‘Ied secara berjamaah lebih dari satu tanpa kepentingan (hajat) adalah hukumnya makruh, dan imam (kepala Negara) boleh melarangnya sebagai mana melarang setiap sesuatu yang makruh”.
Sehubungan dengan fatwa di atas, Komisi Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta menghimbau kepada seluruh umat Islam, terutama para tokoh masyarakat dan pemimpin organisasi Islam agar menghimpun dan menggabungkan jamaah shalat ‘Ied di satu lapangan dalam kelompok besar, serta menghindari memperbanyak tempat shalat di tempat-tempat yang jaraknya berdekatan antar satu dengan lainnya. Dengan demikian akan mempermudah pelaksanaan shalat ‘Ied; menghindarkan kesulitan para jamaah; memperlihatkan syi’ar Islam, serta mempererat persatuan dan persaudaraan umat Islam.
Umat Islam yang akan menghadiri Shalat ‘Ied (Idul Fitri dan Idul Adha) hendaknya memperhatikan hal-hal yang disunnahkan sebagai berikut:
1. Mandi, pada waktunya dimulai dari tengah malam hingga menjelang berangkat ke tempat shalat ‘Ied. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab al-Qolyubi:[6]
و يندب الغسل للعيد و يدخل وقته بنصف الليل
“Disunnahkan mandi untuk (menghadiri shalat) ‘Ied dan masuk waktunya pada tengah malam”.
2. Berangkat ke tempat shalat ‘Ied (lapangan, masjid atau mushala) secara berkelompok dengan berama-ramai mengumandangkan takbir.
3. Waktu pulang melalui jalan lain (bukan jalan yang dilalui waktu berangkat) agar nampak jelas besar jumlah umat Islam.
Jakarta, 24 Rabi’ Ats-Tsani 1422H.
16 Juli 2001M.
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA DKI JAKARTA
Ketua,
ttd
Prof. KH. Irfan Zidny, MA
Sekretaris,
ttd
KH. Drs. M. Hamdan Rasyid, MA
Mengetahui,
Ketua Umum,
ttd
KH. Achmad Mursyidi
Sekretaris Umum,
ttd
Drs. H. Moh. Zainuddin
[1]Fatwa ini merupakan penyempurnaan atas Himbauan MUI DKI Jakarta tentang penyelenggaraan ibadah Idul Adha 1411 H yang ditandatangani oleh KH. M. Syafi’I Hadzami dan Drs. H.Z. Arifin Nurdin, SH. pada 1411 H bertepatan pada bulan Juni 1991 M, penjelsana terlampir.
[2]Abi Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi, al-Jami’ as-Shahih, (Makah: Isa Baby al-Halabi, 1955), juz ke-2, hal. 606, no.890.
[3]Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad bin Sabiquddin al-Khudlairi, Al-Jami’ as-Shaghir Li As-Suyuthi, (Jedah: Dar Thairi al ilmi, tth.), juz ke-1, hal. 297, no. 545.
[4]Al-Qolyubi Wa Umairah, Hasyiah al-Qolyubi wa ‘Umairah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), juz ke- 4, hal. 211.
[5]Al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), juz ke-1, hal. 233.
[6]Al-Qolyubi, op.coit., juz ke- I, hal. 306