PDF Kuat Melawan Corona ESTA LAROSA

Transisi dari pembelajaran tatap muka menuju pembelajaran sistem daring ternyata tidak sederhana. Pertama-tama adalah sistem yang dipakai. Teknologi berkembang sedemikian cepat, tetapi kita tidak selalu siap menghadapi perubahan yang semacam ini. Di sinilah tantangan yang harus dicari solusi. Mungkin dosennya siap dengan sistem tertentu, tetapi tidak bagi mahasiswanya. Sebaliknya, mahasiswa yang siap tetapi dosennya belum siap. Kedua, persoalan jaringan. Ini aspek yang harus dipahami secara bijak. Rumah tinggal mahasiswa dan dosen tersebar merata di banyak wilayah. Tidak semuanya terdapat jaringan yang memadai. Implikasinya, secanggih apa pun sistem yang digunakan tidak akan ada artinya. Semuanya di luar jaringan. Ketiga, persoalan kuota. Kemampuan sudah dimiliki, jaringan cukup memadai, tetapi tanpa kuota internet tentu tidak akan jalan. Keluhan sebagian mahasiswa semenjak sistem pembelajaran daring juga penting untuk diapresiasi dan dicermati. Tidak hanya persoalan pembelajaran. Kerja di kantor yang biasanya dilaksanakan dengan kehadiran fisik menjadi tidak bisa lagi dilakukan. Rapat, misalnya, tentu tetap dilaksanakan walau secara daring. Rapat secara langsung dan daring jelas berbeda. Sekarang bukan pada persoalan memilih langsung atau daring tetapi bagaimana dalam kondisi sekarang ini diambil sikap bijak. Sikap yang berusaha memanfaatkan kemampuan yang ada berdasarkan kondisi yang sesungguhnya sama-sama tidak kita kehendaki. Kini kita semua tidak lagi bekerja di kantor. Istilah kerennya adalah WFH. Work from home. Bekerja dari rumah. Ya, kita diharapkan bertahan di rumah, tidak rekreasi, tidak berinteraksi dengan banyak orang. Tahan diri di rumah demi kesehatan kita semua. Namun demikian pekerjaan jangan sampai diabaikan. Sudah beberapa waktu kita WFH. Ternyata tidak selalu enak. Ada jenuh juga. Sungguh, jika boleh memilih, saya lebih memilih situasi normal dan bekerja di kantor. Tapi sekarang bukan saatnya memilih. Sekarang saatnya bekerja dengan baik dalam kondisi yang ada. Tetiba kita rindu suasana kantor. Rindu mengajar di kelas bersama mahasiswa. Rindu bersua keluarga yang jauh. Rindu semuanya. Inilah manusia. Ketika semua bisa kita nikmati, saya tidak mensyukurinya. Ketika sekarang suasana itu hilang, kita mengharapkannya. Sebagai seorang dosen, saya harus berakrab ria dengan kuliah daring. Jauh sebelum keadaan mewajibkan kuliah daring seperti sekarang ini, saya sudah pernah melakukannya. Tapi itu jika terpaksa. Karena tugas keluar kota, misalnya. Tapi jika tidak saya tentu akan masuk kelas. Relasinya terasa berbeda. Apakah WFH membuat saya malas? Rasa itu ada, tapi tidak saya turuti sepenuhnya. Saya berusaha dan berjuang sekuat vi tenaga untuk tetap produktif layaknya saat ngantor. Ya mengajar, menulis, dan membaca. Hikmah besar yang saya rasakan, salah satunya, adalah kesempatan membaca. Ini sungguh anugerah yang harus saya manfaatkan. Sayang sekali jika saya hanya menjadi kaum rebahan. Berlagak menjadi pahlawan hanya dengan rebahan. Saya sekarang ini memiliki waktu membaca yang lebih luas. Buku demi buku yang biasanya tidak saya sentuh sama sekali mulai saya akrabi kembali. Memang belum banyak yang saya baca tetapi untuk ukuran kesempatan, tentu jauh lebih banyak dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Saya juga berusaha keras memanfaatkan waktu yang ada untuk menulis. Menulis apa pun. Menulis artikel jurnal, menulis buku antologi, menulis buku mandiri, dan mengajak kawan-kawan menulis bersama. Ya, menulis buku antologi. Buku ini merupakan buku yang lahir dalam suasana WFH. Awalnya saya hanya mengundang Bapak Ibu dosen IAIN Tulungagung untuk bergabung dalam grup WA yang saya beri nama Antologi Kuliah Daring. Dalam grup ini saya jelaskan secara teknis ketentuan penulisannya; tema, jumlah halaman, struktur tulisan, biaya, dan batas akhir penerimaan naskah.