StubeHEMAT Yogyakarta
Oleh:Kresensia Risna Efrieno.And when we speak we are afraid,
Our word will not be heard, nor welcomed,
But when we are silent, we are still afraid,
So it is better to speak,
Remembering,
We were never meant to survive,
(Audrey Lorde, The Black Unicorn)
Sepenggal puisi di atas membuka diskusi Stube HEMAT Yogyakarta dalam topik ‘Kekerasan Seksual dan Perdagangan Orang’ (Sabtu, 11/9/2021) di Wisma Pojok Indah. Ariani Narwastujati, S.Pd., S.S., M.Pd., Direktur Eksekutif Stube HEMAT menyampaikan bait ini sebagai pengingat untuk bersuara melawan kekerasan seksual dan perdagangan orang. Topik ini merupakan bagian dari program Perdamaian dan Keadilan dimana kekerasan terhadap anak, kekerasan seksual dan perdagangan orang masih terjadi. Pelanggaran hak anak berupa tekanan dan kekerasan seksual di Indonesia melonjak, hampir 1.192 laporan menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, tahun 2019 dengan beberapa kasus menonjol terjadi dan tersebar di pelosok wilayah. Selain itu, Indonesia merupakan negara pemasok tenaga kerja perempuan ke mancanegara sehingga perdagangan orang rentan terjadi. Banyak perempuan Indonesia ingin bekerja di luar negeri karena iming-iming penghasilan tinggi, tetapi direkrut oleh lembaga perekrut tenaga kerja ilegal tanpa perlindungan hukum yang jelas bahkan terjebak menjadi korban perdagangan orang, mengalami perlakuan tidak manusiawi, terancam hukuman mati dan berakhir dengan kehilangan nyawa.
Apa yang bisa mahasiswa lakukan? Stube HEMAT sebagai lembaga pendampingan mahasiswa mendorong mahasiswa peka terhadap permasalahan sosial yang terjadi di sekitarnya, tahu apa yang harus dilakukan dan memberikan sumbangan pemikiran untuk mengurangi potensi permasalahan. Stube HEMAT Yogyakarta mengadakan diskusi bersama 20 mahasiswa di Wisma Pojok Indah, Condongcatur (Sabtu, 11/09/2021) dengan menghadirkan praktisi yang berkompeten, antara lain, Arnita E. Marbum, S.H., M.H, konsultan hukum di Woman Crisis Center (WCC) Rifka Annisa, Pdt. A. Elga J. Sarapung, (Direktur Eksekutif Institute DIAN Interfidei) dan Pdt. Em. Bambang Sumbodo, S.TH., M.Min (Board in charge Stube HEMAT).
Arnita dalam paparannya membuka benak peserta dengan pertanyaan, apa yang peserta bayangkan tentang kekerasan seksual dan siapakah yang bisa menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual? Pertanyaan ini memancing peserta mengenali kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan terdekat. Kekerasan seksual pada hakekatnya bisa terjadi dimana saja dan setiap orang bisa menjadi korban atau pun pelaku. Mahasiswa harus berani berkata tidak terhadap apapun yang bersifat memaksa dan mengancam kemanusiaan, juga tahu apa yang harus dilakukan ketika terjadi kekerasan seksual dan perdagangan orang. Terungkap dalam diskusi ini beberapa peserta pernah mengalami kekerasan seksual dan mereka menemukan penguatan dan keberanian untuk mengungkapkannya. Arnita, yang berpengalaman mendampingi korban kekerasan seksual mengatakan, “Forum ini forum terbuka untuk saling menguatkan dan menopang satu sama lain. Sehingga ketika ada yang mau ‘sharing’ bisa saling membantu. Berilah rasa aman dan empati, dukungan kepada korban, kemudian bantu mengumpulkan bukti dan temukan orang dan lembaga yang berkompeten menangani kasus.” Sangat penting bagi anak muda memiliki bekal untuk menjaga diri maupun membantu orang lain mempertahankan martabat kehidupannya.
Pdt. Elga Sarapung mengungkap fakta sebagai pendeta, ketika berinteraksi dalam pelayanan dan lintas iman di berbagai wilayah Indonesia, sering diperhadapkan realita kasus perdagangan orang di Indonesia yang sampai saat ini masih sangat tinggi, dan tidak mudah diselesaikan karena beragam pemicu dan situasi yang saling terkait. Kemiskinan, kurangnya akses pendidikan dan informasi, lemahnya penegakan hukum, budaya adat lokal, ketidakadilan gender dan terbatasnya rekrutmen tenaga kerja menjadi pemicunya. Sebuah video dokumenter diputar dan berkisah tentang pendeta perempuan dan suster di Kupang, Nusa Tenggara Timur yang kerap kali menangani kargo berisi mayat korban perdagangan orang yang terkadang tidak dikenali lagi ketika sampai di daerah karena identitas yang dipalsukan. Ia menegaskan bahwa perdagangan orang merupakan persoalan kemanusiaan serius dan agama-agama harus peduli terhadap kemanusiaan dan membela kehidupan dengan cara bermartabat. Anak muda mahasiswa perlu membangun jaringan baik lokal maupun internasional yang berkaitan dengan permasalahan ini, menjadi kritis terhadap kasus-kasus yang ada dan mengurangi peluang terjadinya perdagangan orang.
Pdt. Bambang Sumbodo di akhir diskusi mengingatkan pentingnya pendidikan seksual sejak dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga untuk memahami kekerasan seksual. Berkait perdagangan orang, pendidikan dan penyadaran penting dilakukan kepada masyarakat, dari lingkungan terdekat, tentang bahaya perdagangan orang. Mahasiswa berasal dari daerah harus peka terhadap lingkungan sekitarnya dan berkontribusi untuk melakukan edukasi kepada masyarakat. Dari titik ini, saatnya mahasiswa bukan lagi berdiam diri dan abai terhadap realita kekerasan seksual dan perdagangan orang, melainkan peka terhadap realita, tegas mengatakan tidak pada kekerasan dan berani bersuara melawan kekerasan seksual dan perdagangan orang. ***