Askep Meningitis Wl1pee700vlj

ASKEP MENINGITIS BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit infeksi di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan yang utama. Salah satu penyakit tersebut adalah infeksi susunan saraf pusat. Penyebab infeksi susunan saraf pusat adalah virus, bakteri atau mikroorganisme lain. Meningitis merupakan penyakit infeksi dengan angka kematian berkisar antara 18-40% dan angka kecacatan 30-50%. Bakteri penyebab meningitis ditemukan di seluruh dunia, dengan angka kejadian penyakit yang bervariasi. Di Indonesia, dilaporkan bahwa Haemophilus influenzae tipe B ditemukan pada 33% diantara kasus meningitis. Pada penelitian lanjutan, didapatkan 38% penyebab meningitis pada anak kurang dari 5 tahun. Di Australia pada tahun 1995 meningitis yang disebabkan Neisseria

meningitidis 2,1 kasus per 100.000 populasi, dengan puncaknya pada usia 0 – 4 tahun dan 15 – 19 tahun . Sedangkan kasus meningitis yang disebabkan Steptococcus pneumoniae angka kejadian pertahun 10 – 100 per 100.000 populasi pada anak kurang dari 2 tahun dan diperkirakan ada 3000 kasus per tahun untuk seluruh kelompok usia, dengan angka kematian pada anak sebesar 15%, retardasi mental 17%, kejang 14% dan gangguan pendengaran 28%. B. TUJUAN PENULISAN Setelah dilakukan pembelajaran tentang Asuhan Keperawatan Anak dengan Meningitis, diharapkan mahasiswa mampu: 1.

Memahami tentang pengertian dari meningitis

2.

Memahami tentang etiologi dari meningitis

3.

Memahami tentang patofisiologi/pathway dari meningitis

4.

Memahami tentang manifestasi klinis dari meningitis

5.

Memahami tentang pemerikaan diagnosa dari meningitis

6.

Memahami tentang penatalaksanaan medis dari meningitis

7.

Memahami tentang pengkajian keperawatan meningitis

8.

Memahami tentang diagnosa keperawatan yang muncul pada anak dengan meningitis

9.

Memahami tentang perencanaan keperawatan meningitis

C. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I

: PENDAHULUAN

BAB II

: TINJAUAN PUSTAKA

A.

DEFINISI

B.

ETIOLOGI

C.

FAKTOR RESIKO

D.

KLASIFIKASI

E.

PATHOFIS,PATHWAY

F.

KOMPLIKASI

G.

MANIFESTASI KLINIS

H.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

I.

PENATALAKSANAAN MEDIS

J.

PENGKAJIAN KEPERAWATAN

K.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

L.

PERENCANAAN

M. EVALUASI BAB III

: PENUTUP

A.

KESIMPULAN

B.

SARAN

LAMPIRAN DAFTAR PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DEFINISI Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada system saraf pusat. (Suriadi, dkk. Asuhan Keperawatan

pada Anak, ed.2, 2006) Meningitis adalah infeksi ruang subaraknoid dan leptomeningen yang disebabkan oleh berbagai organisme pathogen. (Jay Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 ) Meningitis merupakan infeksi parah pada selaput otak dan lebih sering ditemukan pada anakanak. Infeksi ini biasanya merupakan komplikasi dari penyakit lain, seperti campak, gondong, batuk rejan atau infeksi telinga.

(/pencegahan-penyakit/otak.htm) Meningitis adalah infeksi yang menular. Sama seperti flu, pengantar virus meningitis berasal dari cairan yang berasal dari tenggorokan atau hidung. Virus tersebut dapat berpindah melalui udara dan menularkan kepada orang lain yang menghirup udara tersebut. (Anonim, dalam Juita, 2008). B. ETIOLOGI 1.

Bakteri:

a.

Neonatus sampai 2 bulan: GBS, basili gram negative, missal, Escherichia coli, Liateria

monocytogenes, S. agalactiae (streptokokus gram B) b. 1 bulan sampai 6 tahun: Neisseria meningitidis (meningokokus), Streptococcus pneumoniae, Hib c. > 6 tahun: Neisseria meningitides, Streptococcus pneumoniae, parotitis (pre-MMR) d.

Mycobacterium tuberculosis: dapat menyebabkan meningitis TB pada semua umur. Pling

sering pada anak umur 6 bulan sampai 6 tahun 2.

Virus: Enterovirus (80%), CMV, arbovirus, dan HSV

C. FAKTOR RESIKO 1.

Faktor predisposisi: laki-laki lebih sering disbanding dengan wanita

2.

Faktor maternal: rupture membran fetal, infeksi metrnal pada minggu terakhir kehamilan

3.

Faktor imunologi: usia muda, defisiansi mekanisme imun, defek lien karena penyakit sel

sabit atau asplenia (rentan terhadap S. Pneumoniae dan Hib), anak-anak yang mendapat obatobat imunosupresi

4.

Anak dengan kelainan system saraf pusat, pembedahan atau injuri yang berhubungan

dengan system persarafan 5.

Faktor yang berkaitan dengan status sosial-ekonomi rendah: lingkungan padat,

kemiskinan, kontak erat dengan individu tang terkena (penularan melalui sekresi pernapasan) D. KLASIFIKASI 1.

Meningitis Purulenta:

Radang selaput otak ( araknoidea dan piameter) yang menimbulkan eksudasi berupa pus, disebabkan oleh kuman nonspesifik dan nonvirus. 2.

Meningitis Tuberkulosa:

Terjadi akibat komplikasi penyebaran tuberculosis primer, biasanya dari paru. Meningitis terjadi bukan karena terimfeksinya selaput otak langsung oleh penyebaran hematogen, tetapi biasanya sekunder melalui pembentukan tuberkel pada permukaan otak, sumsum tulang belakang atau vertebra yang kemudian pecah ke rongga araknoid (Rich dan McCordeck). Anak-anak yang ibunya menderita TBC kadang-kadang mendapatkan meningitis tuberkolusa pada bulan-bulan pertama setelah lahir. (Ngastiyah,2005) E. PATOFISIOLOGI Meningitis terjadi akibat masuknya bakteri ke ruang subaraknoid, baik melalui penyebaran secara hematogen, perluasan langsung dari fokus yang berdekatan, atau sebagai akibat kerusakan sawar anatomik normal secara konginetal, traumatik, atau pembedahan. Bahanbahan toksik bakteri akan menimbulkan reaksi radang berupa kemerahan berlebih (hiperemi) dari pembuluh darah selaput otak disertai infiltrasi sel-sel radang dan pembentukan eksudat. Perubahan

ini

terutama

terjadi

pada

infeksi

bakteri streptococcus

pneumoniae dan H.

Influenzae dapat terjadi pembengkakan jaringan otak, hidrosefalus dan infark dari jaringan otak. Efek peradangan akan menyebabkan peningkatan cairan cerebro spinalis yang dapat menyebabkan obstruksi dan selanjutnya terjadi hidrosefalus dan peningkatan TIK. Efek patologi dari peradangan tersebut adalah hiperemi pada meningen. Edem dan eksudasi yang kesemuanya menyebabkan peningkatan intrakranial. (Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit, ed.2,

2005) Penyebaran hematogen merupakan penyebab tersering, dan biasa terjadi pada adanya fokus penyakit lain (misalnya, pneumonia, otitis media, selulitis) atau akibat bakteremia spontan. Oleh karena patogen-lazim menyebar melalui jalur pernapasan , peristiwa awalnya adalah kolonisasi traktus respiratorius bagian atas. Meningitis yang disebabkan oleh penyebaran nonhematogen mencakup penyebaran infeksi dari daerah infeksi yang berdekatan ( otitis media, mastoiditis, sinusitis, osteomielitis vertebralis atau tulang kranialis) serta kerusakan anatomi (fraktur dasar tengkorak, pasca-prosedur bedah saraf, atau sinus dermal konginetal di sepanjang aksis kraniospinalis). Gambaran lazim setiap penyebab infeksi adalah masuknya bakteri patogen ke dalam ruang subaraknoid dan perbanyakan bakteri. (Jay Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 ) Meningitis biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau terdapat kenaikan suhu yang ringan saja, jarang terjadi akut dengan panas yang tinggi. Sering dijumpai anak mudah

terangsang atau menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala. Anoreksia, obstipasi, dan muntah juga sering dijumpai. Stadium ini kemudian disusul dengan stadium transisi dengan kejang. Gejala di atas menjadi lebih berat dan gejala rangsangan meningeal mulai nyata, kuduk kaku, seluruh tubuh menjadi kaku dan timbul opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi, ubun-ubun menonjol dan umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan nistagmus. Sering tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran lebih menurun hingga timbul stupor. Stadium terminal berupa kelumpuhan-kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernapasan menjadi tidak teratur, sering terjadi pernafasan `Cheyne-Stokes`. Hiperpireksia timbul dan anak meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali. Tiga stadium tersebut biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal. (Ngastiyah. Perawatan

Anak Sakit, ed.2, 2005) F. KOMPLIKASI a.

Hidrosefalus obstruktif

b.

Meningococcal septicemia (mengingocemia)

c.

Sindrom Water Friderichsen (septic syok, DIC, perdarahan adrenal bilateral)

d.

SIADH (Syndrome Inappropriate Antidiuretic Hormone)

e.

Efusi subdural

f.

Kejang

g.

Edema dan herniasi serebral

h.

Cerebral Palsy

i.

Gangguan mental

j.

Gangguan belajar

k.

Attention deficit disorder

G. MANIFESTASI KLINIS Trias klasik gejala meningitis adalah demam, sakit kepala, dan kaku kuduk. Namun pada anak di bawah usia dua tahun, kaku kuduk atau tanda iritasi meningen lain mungkin tidak ditemui. Peruban tingkat kesadaran lazim terjadi dan ditemukan pada hingga 90% pasien. (Jay Tureen.

Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 ) Pada bukunya, Wong menjabarkan manifestasi dari meningitis berdasarkan golongan usia sebagai berikut: Anak dan Remaja a.

Awitan biasanya tiba-tiba

b.

Demam

c.

Mengigil

d.

Sakit kepala

e.

Muntah

f.

Perubahan pada sensorium

g.

Kejang (seringkali merupakan tanda-tanda awal )

h.

Peka rangsang

i.

Agitasi

j.

Dapat terjadi:

Fotofobia Delirium Halusinasi Perilaku agresif atau maniak Mengantuk Stupor Koma k.

Kekakuan nukal

Dapat berlanjut menjadi opistotonus l.

Tanda Kernig dan Brudzinski positif

m. Hiperaktif tetapi respons refleks bervariasi n.

Tanda dan gejala bersifat khas untuk setiap organisme:

Ruam ptekial atau purpurik (infeksi meningokokal), terutama bila berhubungan dengan status seperti syok. Keterlibatan sendi (infeksi meningokokal dan H. influenzae) Drain telinga kronis (meningitis pneumokokal) Bayi dan Anak Kecil Gambaran klasik jarang terlihat pada anaka-anak antara usia 3 bulan dan 2 tahun a.

Muntah

b.

Peka rangsangan yang nyata

c.

Sering kejang (seringkali disertai dengan menangis nada tinggi)

d.

Fontanel menonjol

e.

Kaku kuduk dapat terjadi dapat juga tidak

f.

Tanda Brudzinski dan Kernig bersifat tidak membantu dalam diagnosa

g.

Sulit untuk dimunculkan dan dievaluasi dalam kelompok usia

h.

Empihema subdural (infeksi Haemophilus influenza)

Neonatus: Tanda-tanda Spesifik a.

Secara khusus sulit untuk didiagnosa

b.

Manifestasi tidak jelas dan tidak spesifik

c.

Baik pada saat lahir tetapi mulai terlihatmenyedihkan dan berperilaku buruk dalam

beberapa hari d.

Menolak untuk makan

e.

Kemampuan menghisap buruk

f.

Muntah atau diare

g.

Tonus buruk

h.

Kurang gerakan

i.

Menangis buruk

j.

Fontanel penuh, tegang, dan menonjol dapat terlihat pada akhir perjalanan penyakit

k.

Leher biasanya lemas

Tanda-tanda Nonspesifik yang Mungkin Terjadi pada Neonatus a.

Hipotermia atau demam (tergantung pada maturitas bayi)

b.

Ikterik

c.

Peka rangsang

d.

Mengantuk

e.

Kejang

f.

Ketidakteraturan pernapasan atau apnea

g.

Sianosis

h.

Penurunan berat badan

(Donna L. Wong. Pedoman Keperawatan Pediatrik,ed.4,2003 ) H. PEMERIKSAAN DIAGNOSA 1.

Punksi Lumbal : tekanan cairan meningkat, jumlah sel darah putih meningkat, glukosa

menurun, protein meningkat. Indikasi Punksi Lumbal: a.

Setiap pasien dengan kejang atau twitching baik yang diketahui dari anamnesis atau yang

dilihat sendiri. b.

Adanya paresis atau paralysis. Dalam hal ini termasuk strabismus karena paresis N.VI.

c.

Koma.

d.

Ubun-ubun besar menonjol.

e.

Kuduk kaku dengan kesadaran menurun.

f.

Tuberkulosis miliaris dan spondilitis tuberculosis.

g.

Leukemia.

2.

Kultur swab hidung dan tenggorokan (Suriadi, dkk. Asuhan Keperawatan pada Anak, ed.2,

2006) 3.

Darah:

leukosit

meningkat,

CRP

meningkat,

U&E,

glukosa,

pemeriksaan

factor

pembekuan, golongan darah dan penyimpanan. 4.

Mikroskopik, biakan dan sensitivitas: darah, tinja, usap tenggorok, urin, rapid antigen

screen. 5.

CT scan: jika curiga TIK meningkat hindari pengambilan sample dengan LP.

6.

LP untuk CSS: merupakan kontra indikasi jika dicurigai tanda neurologist fokal atau TIK

meningkat. 7.

CSS pada meningitis bakteri: netrofil, protein meningkat (1-5g/L), glukosa menurun

(kadar serum
CSS pada meningitis virus: limfosit (pada mulainya netrofil), protein normal/meningkat

ringan, glukosa normal, PCR untuk diagnosis. 9.

CSS: mikroskopik (pulasan Gram, misal, untuk basil tahan asam pada meningitis TB),

biakan dan sensitivitas. I. PENATALAKSANAAN MEDIS

Penatalaksanaan efektif untuk meningitis bergantung pada terapi suportif agresif yang dini dan pemilihan antimikroba empirik yang tepat untuk kemungkinan patogen. Tindakan suportif umum diindikasikan bagi setiap pasien yang menderita patologi intrakranium berat. Pasien dengan Meningitis purulenta pada umumnya dalam keadaan kesadaran yang menurun dan

seringkali

disertai

muntah-muntah

atau

diare.

Untuk

menghindari

kekurangan

cairan/elektrolit, pasien perlu langsung dipasang cairan intavena. Jika terdapat gejala asidosis harus dilakukan koreksi. Pengelolaan cairan merupakan hal yang sangat penting pada pasien meningitis. Sindrom sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat (SIADH, syndrome of

inappropriate antidiuretic hormone secretion) terjadi pada sekitar 30% pasien meningitis, dan jika ditemukan, harus dilakukan pembatasan cairan. Meskipun demikian, sebuah studi klinis telah membuktikan pentingnya memelihara tekanan perfusi otak yang adekuat pada penyakit ini. Pembatasan cairan secara tidak tepat dapat menimbulkan deplesi volume, yang jika ekstrim, dapat menuju pada ketidakadekuatan volume sirkulasi. Sebaiknya cairan mula-mula dibatasi, sementara menunggu pemeriksaan elektrolit urin dan serum. Bila terdapat SIADH, pembatasan cairan sampai dua pertiga cairan pemeliharaan merupakan tindakan yang tepat, sampai kelebihan hormon antidiuretuk pulih; bila tidak terdapat SIADH, cairan harus diberikan dalam jumlah yang sesuai dengan derajat kekurangan cairan, dan elektrolit diawasi secara seksama. Terapi peningkatan tekanan intrakranium harus diarahkan pada pemeliharaan derajat tekanan perfusi otak yang adekuat, seperti pada kondisi lain yang dipersulit oleh hipertensi intrakranium. Cara yang ada bisa termasuk hiperventilasi, pengambilan CSS melalui kateter intraventrikel, atau mungkin pemakaian obat diuretikosmotik secara hati-hati. Pada kecurigaan meningitis, antibiotik intravena diberikan secara empiric sementara menunggu hasil biakan. Pemilihan antibiotik awal didasarkan pada kemungkinan pathogen menurut kelompok usia, pajanan yang diketahui, dan setiap faktor resiko yang tidak lazim bagi pasien. Prinsip terapi antimikroba meningitis mencakup pemilihan antibiotik yang bersifat bakterisid terhadap pathogen yang dicurigai dan yang mampu mencapai konsentrasi CSS setidaknya sepuluh konsentrasi bakterisid minimal untuk organisme tersebut, karena inilah konsentrasi yang dalam penelitian hewan telah terbukti berkolerasi dengan sterilisasi CSS paling efektif. (Jay

Tureen. Buku Ajar Pediatri Rudolph,vol.1, 2006 ) Bila pasien masuk dalam keadaan status konvulsivus, diberikan diazepam 0,5 mg/kg BB/kali IV, dan dapat diulang dengan dosis yang sama 15 menit kemudian bila kejang belum berhenti. Ulangan pemberian diazepam berikutnya (yang ketiga kali) dengan dosis sama tetapi diberikan secara IM. Setelah kejang dapat diatasi, diberikan fenobarbital dosis awal untuk neonatus 30 mg; anak 1 tahun 75 mg. Selanjutnya untuk pengobatan rumat diberikan fenobarbital dengan dosis 8-10 mg/kg BB/hr dibagi dalam 2 dosis, diberikan selama 2 hari (dimulai 4 jam setelah pemberian dosis awal). Hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hr dibagi dalam 2 dosis. Bila tidak tersedia diazepam, fenobarbital dapat langsung diberikan dengan dosis awal dan selanjutnya dosis rumat. Penyebab utama meningitis purulenta pada bayi atau anak di Indonesia(Jakarta) ialah H.

influenzaedan pneumoccocus sedangkan

meningococcus

jarang

sekali,maka

diberikan

ampisilin IV sebanyak 400mg/kg BB/hr dibagi 6 dosis ditambah kloramfenikol 100mg/kg BB/hr iv dibagi dalam 4 dosis. Pada hari ke 10 pengobatan dilakukan pungsi lumbal ulangan dan bila

ternyata menunjukkan hasil yang normal pengobatan tesebut dilanjutkan 2 hari lagi. Tetapi jika masih belum dan pengobatan dilanjutkan dengan obat dan cara yang sama seperti di atas dan diganti dngan obat yang sesuai dengan hasil biakan dan uji resistensi kuman. Meningitis paru pada neunatus berbeda,karena biasa dan disebabkan oleh baksil colifom danstaphylococcus, maka pengobatan pada neonatus sebagai berikut: Pilihan pertama: Sefalosporin 200mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 2 dosis, dikombinasi dengan amikasin dengan dosis awal 10 mg/kg BB/hr IV,dilanjutkan dengan dosis 15 mg/kg BB/hr atau dengan gentamisin 6 mg/kg BB/hr masing-masing dibagi dalam 2 dosis. Pilihan kedua : Amphisilin mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 6 dosis,dikombinasi dengan kloramfenikol 50 mg/kg BB/hr IV dibagi dalam 4 dosis. Pada bayi kurang bulan dosis kloramfenikol tidak boleh melebihi 30 mg/kg Bb/hr (dapat terjadi grey baby). Pilihan selanjutnya kotrimoksazol 10 mg TMP/kg BB/hr IV dibagi dalam 2 dosis selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis 6 mg TMP/kg BB/hr IV dibagi dalam 2 dosis. Lama pengobatan neonatus adalah 2 hr. Sefalosporin dan kotrimaksozol tidak diberikan pada bayi yang berumur kurang 1 minggu. Ulangan pungsi lumbal pada meningitis paru anak dilakukan pada hari ke 10 pengobatan sedang pada neunatus pada hari ke 21. (Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit, ed.2, 2005) Terapi pilihan pada bayi yang telah mengalami meningitis bakterial dengan komplikasi hidrocephalus adalah dilakukan pembedahan dengan tujuan untuk pemasangan shunt guna mengalirkan cerebrospinal fluid yang tersumbat di dalam otak. Ada beberapa jenis shunt antara lain (VP) ventrikulo peritoneal shunt dan (VA) ventriculoatrial shunt. Penatalaksanaan pada bayi dengan hidrocehalus adalah pemberian posisi head up dan pengawasan pemberian cairan yang adekuat. J. PENGKAJIAN KEPERAWATAN 1.

Riwayat keperawatan: riwayat kelahiran, penyakit kronis, neoplasma riwayat pembedahan

pada otak, cedera kepala 2.

Pada Neonatus: kaji adanya perilaku menolak untuk makan, reflek menghisap kurang,

muntah atau diare, tonus otot kurang, kurang gerak dan menangis lemah 3.

Pada anak-anak dan remaja: kaji adanya demam tinggi, sakit kepala, muntah yang diikuti

dengan perubahan sensori, kejang mudah terstimulasi dan teragitasi, fotofobia, delirium, halusinasi, perilaku agresif atau maniak, penurunan kesadaran, kaku kuduk, opistotonus, tanda Kernig dan Brudzinsky positif, refleks fisiologis hiperaktif, ptechiae atau pruritus 4.

Bayi dan anak-anak (usia 3 bulan hingga 2 tahun): kaji adanya demam, malas makan,

muntah, mudah terstimulasi, kejang, menangis dengan merintih, ubun-ubun menonjol, kaku kuduk, dan tanda Kernig dan Brudzinsky positif K. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1.

Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi

2.

Resiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan infeksi pada

selaput otak 3.

Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kejang,reflek meningkat

4.

Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit serius

L. PERENCANAAN

1.

Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi

a.

Tujuan 1 :

Pasien tidak mengalami nyeri atau nyeri menurun sampai tingkat yang dapat diterima anak b.

Intervensi keperawatan/Rasional:

1)

Biarkan anak mengambil posisi yang nyaman:

i)

Gunakan posisi miring, bila ditoleransi, karena kaku kuduk

ii) Tinggikan sedikit kepala tempat tidur tanpa menggunakan bantal karena hal ini seringkali menjadi posisi yang paling tidak nyaman 2)

Berikan analgesik sesuai ketentuan, terutama asetaminofen dengan kodein

c.

Hasil yang diharapkan:

Anak tidak menunjukkan tanda-tanda nyeri atau tanda-tanda nyeri yang dialami anak minimum 2.

Resiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan infeksi pada

selaput otak. a. Tujuan: Tekanan intra karanial (TIK) tetap atau berkurang menuju normal b. Intervensi keperawatan/rasional: 1.

Kaji tanda vital, GCS (jika dapat dilakukan) dan tanda-tanda dari terjadinya penurunan

kesadaran 2. Ciptakan dan pertahankan lingkungan yang tenang dan nyaman 3. Beri posisi head up ± 3 cm 4. Ukur lingkar kepala setiap hari 5. Olaborasi dalam pemberian cairan adekuat 6. Berikan obat sesuai dengan program; antibiotic, antipiretik, dan antikonvulsan 7. Ikut sertakan keluarga dalam perawatan bayi secara aktif c.

Hasil yang diharapkan:

Tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial selama dalam masa perawatan, dengan kriteria; reaksi pupil terhadap cahaya (+), refleks normal, gerak dan tangis yang kuat, respirasi spontan, suhu dalam batas normal. 3. Resiko tinggi cedera berhubungan dengan kejang,reflek meningkat a.

Tujuan 1:

Pasien tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi b.

Intervensi keperawatan/Rasional:

1)

Bantu praktisi kesehatan mendapat kultur yang diperlukan untuk mengidentifikasikan

organisme penyebab 2)

Berikan antibiotic, sesuai resep, dan segera setelah diinstruksikan

3)

Pertahankan rute intravena untuk pemberian obat

c.

Hasil yang diharapkan:

Anak menunjukkan bukti-bukti penurunan gejala d.

Tujuan 2:

Pasien tidak menyebabkan infeksi ke orang lain e.

Intervensi keperawatan/ Rasional:

1)

Implementasikan pengendalian infeksi yang tepat:

a)

Tempatkan anak di ruang isolasi selama sedikitnya 24 jam setelah awal terapi antibiotik

b)

Pantau tanda-tanda vital untuk tanda awal proses infeksi

c)

Observasi adanya tanda-tanda infeksi khusus pada penyakit anak

2)

Instruksikan orang lain (keluarga, anggota staf) tentang kewaspadaan yang tepat

3)

Berikan vaksinasi yang tepat: Berikan vaksin rutin sesuai usia (mis., vaksin untuk mencegah H. influenzae tipe B

i) [Hib]) ii)

Identifikasi kontak erat dan anak berisiko tinggi yang dapat memperoleh manfaat

dari vaksinasi (mis., vaksinasi meningokokus) f.

Hasil yang diharapkan:

Orang lain tetp bebas dari infeksi g.

Tujuan 3 :

Pasien tidak mengalami komplikasi h.

Intervensi keperawatan/ Rasional:

1)

Observasi dengan ketat adanya tanda-tanda komplikasi, terutama peningkatan TIK, syok,

dan distres pernapasan, sehingga dapat dilakukan tindakan kedaruratan 2)

Pertahankan hirasi optimal sesuai ketentuan Pantau dan catat masukan dan keluaran untuk mengidentifikasi komplikasi seperti

3)

ancaman syok atau peningkatan akumulasi cairan yang berhubungan dengan edema serebral atau efusi subdural 4) Kurangi stimulus lingkungan, karena anak mungkin sensitif terhadap kebisingan, sinar terang, dan stimulus eksternal lainnya 5)

Implementasikan kewaspadaan keamanan yang tepat karena anak sering gelisah dan

kejang 6)

Jelaskan pentingnya perawatan tindak lanjut pada orang tua karena sekuel neurologis,

termasuk penurunan pendengaran mungkin tidak tampak selama penyakit akut i.

Hasil yang diharapkan:

Anak tidak mengalami komplikasi 4.Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit serius a.

Tujuan :

Pasien (keluarga) mendapatkan dukungan yang adekuat b.

Intervensi keperawatan/Rasional:

1) Dorong keluarga untuk mendiskusikan perasaan untuk meminimalkan rasa bersalah dan saling menyalahkan 2) Yakinkan keluarga bahwa awitan meningitis bersifat tiba-tiba dan bahwa mereka sudah bertindak dengan penuh tanggung jawab dengan mencari bantuan medis untuk meminimalkan rasa bersalah dan saling menyelahkan 3)

Pertahankan agar keluarga tetap mendapat informasi tentang kondisi anak, kemajuan,

prosedur, dan tindakan untuk mengurangi kecemasan c.

Hasil yang diharapkan:

Anak (keluarga) mendapatkan dukungan yang cukup M. EVALUASI

Angka motalitas meningitis sangat bervariasi, tergantung pada usia pasien dan patogen penyebab. Pasien dengan meningitis meningokokus tanpa meningokoksemia berat mempunyai angka fatalitas sebesar hanya 20%, sedangkan neonatus dengan meningitis gram negative meninggal dalam 70 kasus. Angka kematian akibat H. influenzae dan S. pneumoniae masingmasing adalah sekitar 3% dan 6%. Gejala sisa penyakit terjadi pada kira-kira 30% penderita yang bertahan hidup, tetapi juga terdapat predileksi usia serta petogen, dengan insidensi terbesar pada bayi yang sangat muda serta bayi yang terinfeksi bakteri gram negative dan S. pneumoniea. Gejala sisa neurologi tersering adalah tuli, yang terjadi pada 3-25% pasien; kelumpuhan saraf kranial pada 2-7% pasien; dan cidera berat seperti hemiparesis atau cidera otaku mum pada 12% pasien. Lebih dari 50% pasien dengan gejala sisa neurologi pada saat pemulangan dari RS akan membaik seiring waktu, dan keberhasilan dalam implant koklea belum lama ini memberi harapan pada anak dengan kehilangan pendengaran. Pencegahan meningitis saat ini terdiri atas dua bentuk: kemoprokfilaksis terhadap individu rentan yang diketahui terpajan pada pasien yang mengidap penyakit (pasien indek) serta imunisasi aktiv. Sekarang, kemoprokfilaksis diindikasikan untuk mencegah meningitis sekunder yang disebabkan oleh H. influenzae dan N. meningitides. Imunisasi aktiv terhadap H. influenzae telah menghasilkan penguangan dramatis pada penyakit invasive, dengan pengurangan sebanyak 70-80% pada meningitis akibat organisme tersebut. Saat ini imunisasi dianjurkan untuk bayi sebagai rangkain imunisasi tiga dosis pada usia 2,4,6 bulan. BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN Otak dan sumsum otak belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan yaitu cairan serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu: a.

Pia meter, merupakan lapisan yang menyelipkan dirinya ke dalam celah pada otak dan

sumsum tulang belakang dan sebagai akibat dari kontak yang sangat erat akan menyediakan darah untuk struktur-struktur ini. b.

Arachnoid, merupakan selaput halus yang memisahkan pia meter dan dura meter.

c.

Dura meter, merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari

jaringan ikat tebal dan kuat. Komponen intrakaranial terdiri dari: parenkim otak, sistem pembuluh darah, dan CSF. Apabila salah satu komponen terganggu, akan mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, yang akhirnya akan menurunkan fungsi neurologis. Meningitis merupakan salah satu jenis infeksi yang menyeranga susunan saraf pusat, dimana angka kejadiannya masih tinggi di Indonesia. Pada banyak penyakit yang mempunyai mobiditas dan mortalitas yang tinggi, prognosis penyakit sangat ditentukan pada permulaan pengobatan. Beberapa bakteri penyebab meningitis ini tidak mudah menular seperti penyakit flu, pasien meningitis tidak menularkan penyakit melalui saluran pernapasan. Resiko terjadinya penularan sangat tinggi pada anggota keluarga serumah, penitipan anak, kontak langsung cairan ludah

seperti berciuman. Perlu diketahui juga bahwa bayi dengan ibu yang menderita TBC sangat rentan terhadap penyakit ini. Meningitis adalah infeksi pada cairan otak dan selaput otak (meningen) yang melindungi otak dan medulla spinalis. Meningitis bacterial merupakan penyakit yang sangat serius dan fatal. Diagnose keperawatan yang muncul tergantung dengan kondisi saat pengkajian, tapi yang utama adalah Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi; resiko terjadi peningkatan tekanan intrakranial berhubungan dengan Infeksi pada selaput otak; resiko cedera berhubungan dengan kejang, reflek meningkat; perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak yang menderita penyakit serius. B. SARAN Mengerti dan memahami gejala meningitis sangat penting untuk menegakkan diagnosis sedini mungkin. Diagnosis dan pengobatan dini mencegah terjadinya komplikasi yang bersifat fatal. Mengetahui penyebab meningitis sangat penting untuk menentukan jenis pengobatan yang diberikan. Vaksin untuk mencegah terjadinya meningitis bakterial telah tersedia, dan sangat dianjurkan untuk diberikan jika berada atau akan berkunjung ke daerah epidemik. DAFTAR PUSTAKA 1. Alpers,Ann.2006.Buku Ajar Pediatri Rudolph. Ed.20.Jakarta:EGC. 2. Http:// 3. Brough,Hellen,et al.2007.Rujukan Cepat Pediatri dan Kesehatan Anak.Jakarta:EGC. 4. Ngastiyah.2005.Perawatan Anak Sakit.Ed.2.Jakarta:EGC Suriadi, Rita Yuliani.2006.Asuhan keperawatan pada Anak Ed.2.Jakarta:Percetakan Penebar S

Definisi miastenia gravis Miastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi transmisi neuromuscular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan, dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunteer dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial, serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada wanita 15 sampai 35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun. Etiologi Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson, partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi otot. Penyebab pasti gangguan transmisi neuromuskuler pada Miastenia gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi menurut teori terakhir, faktor imunologik yang paling banyak berperanan Insiden Miastenia gravis lebih banyak terdapat pada wanita daripada pria (usia 40 tahun). Kalau penderita punya thymomas, justru mayoritas pada pria dengan tahun. Klasifikasi Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas I Adanya kelemahan otot-otot ocullar, kelemahan pada saat menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal Kelas II

Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

Kelas IIa

Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

Kelas IIb

Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada otototot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan

dibandingkan klas IIa. Kelas III

Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang

Kelas III a

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan

Kelas III b

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otototot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.

Kelas IV

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat

Kelas IV a

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan

Kelas IV b

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakanfeeding tube tanpa dilakukan intubasi.

Kelas V

Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Klasifikasi menurut osserman ada 4 tipe : 1. Ocular miastenia

terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada kematian 2. Generalized myiasthenia a) Mild generalized myiasthenia

Permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan meluas ke otot-otot skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot baik. b) Moderate generalized myasthenia

Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan respon terhadap obat tidak memuaskan. 3. Severe generalized myasthenia

A. Acute fulmating myasthenia Permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot pernafasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma B. Late severe myasthenia Timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif dari myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek 4. Myasthenia crisis

Menjadi cepat buruknya keadaan penderita myasthenia gravis dapat disebabkan :  pekerjaan fisik yang berlebihan  emosi  infeksi  melahirkan anak  progresif dari penyakit  obat-obatan yang dapat menyebabkan neuro muskuler, misalnya streptomisin, neomisisn, kurare, kloroform, eter, morfin sedative dan muscle relaxan.  Penggunaan urus-urus enema disebabkan oleh karena hilangnya kalium Secara sederhana, Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan seperti dibawah ini :  Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.  Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot untuk untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuh pun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.  Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot oculobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak menurun Patofisiologi Dasar ketidaknormalan pada myastenia gravis adalah adanya kerusakan pada transmisi impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membran post sinaps pada sambungan neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya penurunan 70 % sampai 90 % reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap individu. Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap lansung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi neuromuscular.

Komplikasi Bisa timbul miastenia crisis atau cholinergic crisis akibat terapi yang tidak diawasi  Pneumonia  Bullous death Penatalaksanaan 

Penatalaksanaan diarahkan pada perbaikan fungsi melalui pemberian obat antikolinestrase dan mengurangi serta membuang antibodi yang bersikulasi Obat anti kolinestrase  piridostigmin bromide (mestinon), ambenonium klorida (Mytelase), neostigmin bromide (Prostigmin).  diberikan untuk meningkatkan respon otot terhadap impuls saraf dan meningkatkan kekuatan otot, hasil diperkirakan dalam 1 jam setelah pemberian. Terapi imunosupresif  ditujukan pada penurunan pembentukan antibody antireseptor atau pembuangan antibody secara langsung dengan pertukaran plasma.  kortikostreoid menekan respon imun, menurunkan jumlah antibody yang menghambat  pertukaran plasma (plasmaferesis) menyebabkan reduksi sementara dalam titer antibodi  Thimektomi (pengangkatan kalenjer thymus dengan operasi) menyebabkan remisi subtansial, terutama pada pasien dengan tumor atau hiperlasia kalenjer timus. kalenjer timus. kalenjer timus. kalenjer timus. kalenjer timus. ASUHAN KEPERAWATAN

Pengkajian Identitas klien : Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status Keluhan utama : Kelemahan otot Riwayat kesehatan : Diagnosa miastenia didasarkan pada riwayat dan presentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah istirahat sangatlah menunjukkan myastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana . riwayat adanya jatuhnya kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.

B1 (Breathing) Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut B2 (Bleeding) Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi B3 (Brain) Kelemahan otot ektraokular yang menyebabkan palsi ocular, jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara klien mungkin disatrik B4 (Bladder) Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih. B5 ( Bowel) Kesulitan menelan-mengunyah, disfagia, kelemahan otot diafragma dan peristaltic usus turun. B6 (Bone) Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebihan.

Prioritas masalah keperawatan Berdasarkan data pengkajian, diagnosa keperawatan potensial pasien dapat meliputi hal berikut : 1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan 2. Defisit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia, intubasi, atau paralisis otot. Intervensi dokumentasi 1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan

Tujuan : Pasien akan mempertahankan pertukaran gas yang adekuat:  Lakukan pendekatan pada klien dengan komunikasi alternatif jika klien menggunakan ventilator  Catat saturasi O2 dengan oksimetri, terutama dengan aktivitas  Ukur parameter pernafasan dengan teratur  Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat antikolinergik  Sucktion sesuai kebutuhan obat-obatan antikolinergik meningkatkan sekresi bronkial) 2. Defisit perawatan diri yang berubungan dengan kelemahan otot, keletihan umum Tujuan ; Pasien akan mampu melakukan sedikitnya 25 % aktifitas diri dan berhias  Buat jadwal perawatan diri dengan interval  Berikan waktu istirahat di antara aktivitas  Lakukan perawatan diri untuk pasien selama kelemahan otot yang sangat berlebihan atau sertakan keluarga  Peragakan tehnik-tehnik penghematan energi 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan disfagia, intubasi, atau paralisis otot.

Tujuan : Masukan kalori akan adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolik  Kaji reflek gangguan menelan dan refek batuk sebelum pemberian peroral  Hentikan pemberian makan per oral jika pasien tidak dapat mengatasi sekresi oral atau jika reflek gangguan menelan atau batuk tertekan  Pasang selang makan kecil dan berikan makan per-selang jika terdapat dysfagia.  Catat intake dan output  Lakukan konsultasi gizi untuk mengevaluasi kalori  Timbang pasien setiap hari. DAFTAR PUSTAKA

     

Doenges, E. M (2000), Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian, ed. 3, EGC, Jakarta. Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2. EGC.jakarta. Ramali, A.( 2000 ). Kamus Kedokteran. Djambatan, Jakarta. Engel, A. G. MD. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol 16: Page: .1984. Lewis, R.A, Selwa J.F, Lisak, R.P. Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms and Immunotherapy. Ann Neurol. 37(S1):S51-S62. 1995. Ngoerah, I. G. N. G, Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlanga University Press. Page: . 1991. ASUHAN KEPERAWATAN ABSES OTAK ASUHAN KEPERAWATAN ABSES OTAK BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang Abses otak (AO) adalah suatu reaksi piogenik yang terlokalisir pada jaringan otak. Kasus ini bisa terjadi pada anak dan dewasa. Infeksi yang terjadi diakibatkan oleh jamur, bakteri, parasit dan komplikasi lain, misalnya otitis media dan mastoiditis. Pada pasien yang mengalami abses otak akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: gangguan mental, paralisis, kejang, defisit neurologis fokal, hidrosephalus serta herniasi, oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.

I. 2. Permasalahan Permasalahan yang timbul sehingga disusunnya asuhan keperawatan ini adalah bagaimana seharusnya tindakan asuhan keperawatan pada sistem persarafan dengan kasus abses otak?

I. 3. Tujuan Tujuan disusunnya asuhan keperawatan ini adalah: 1. Tujuan Umum Untuk memenuhi kegiatan belajar mengajar dari mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II (KMB II). 2. Tujuan Khusus

a. Memperoleh gambaran mengenai abses otak. b. Dapat memahami tentang konsep asuhan keperawatan pasien dengan abses otak.

I. 4. Manfaat Manfaat dari penyusunan asuhan keperawatan ini, yaitu: 1. Kegunaan Ilmiah a. Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa b. Sebagai salah satu tugas akademik 2. Kegunaan Praktis Bermanfaat bagi tenaga perawat dalam penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan abses otak

BAB II KONSEP MEDIS

II. 1. Pengertian Abses otak (AO) adalah suatu proses infeksi yang melibatkan parenkim otak; terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan atau melaui sistem vaskular. Timbunan abses pada daerah otak mempunyai daerah spesifik, pada daerah cerebrum 75% dan cerebellum 25%.

II. 2. Etiologi Penyebab dari abses otak ini antara lain, yaitu: 1. Bakteri Bakteri yang tersering adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob, Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus alpha hemolyticus, E. coli dan Baeteroides. Abses oleh Staphylococcus biasanya berkembang dari perjalanan otitis media atau fraktur kranii. Bila infeksi berasal dari sinus paranasalis penyebabnya adalah Streptococcus aerob dan anaerob, Staphylococcus dan Haemophilus influenzae. Abses oleh Streptococcus dan Pneumococcus sering merupakan komplikasi infeksi paru. Abses pada penderita jantung bawaan sianotik umumnya oleh Streptococcus anaerob. 2. Jamur Jamur penyebab AO antara lain Nocardia asteroides, Cladosporium trichoides dan spesies Candida dan Aspergillus.

3. Parasit Walaupun jarang, Entamuba histolitica, suatu parasit amuba usus dapat menimbulkan AO secara hematogen. 4. Komplikasi dari infeksi lain Komplikasi dari infeksi telinga (otitis media, mastoiditis )hampir setengah dari jumlah penyebab abses otak serta Komplikasi infeksi lainnya seperti: paru-paru (bronkiektaksis, abses paru, empisema), jantung (endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit.

II. 3. Patofisiologi Mikroorganisme penyebab abses masuk ke otak dengan cara: 1. Implantasi langsung akibat trauma, tindakan operasi, pungsi lumbal. Penyebaran infeksi kronik pada telinga, sinus, mastoid, dimana bakteri dapat masuk ke otak dengan melalui tulang atau pembuluh darah. 2. Penyebaran bakteri dari fokus primer pada paru-paru seperti abses paru, bronchiactasis, empyema, pada endokarditis dan perikarditis. 3. Komplikasi dari meningitis purulenta. Fase awal abses otak ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi leukosit atau melunaknya parenkim. Trombisis sepsis dan edema. Beberapa hari atau minggu dari fase awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista berisi pus. Kemudian terjadi ruptur, bila terjadi ruptur maka infeksi akan meluas keseluruh otak dan bisa timbul meningitis. AO dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu. AO bersifat soliter atau multipel. Yang multipel biasanya ditemukan pada penyakit jantung bawaan sianotik; adanya shunt kanan ke kiri akan menyebabkan darah sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia. Polisitemia ini memudahkan terjadinya trombo-emboli. Umumnya lokasi abses pada tempat yang sebelumnya telah mengalami infark akibat trombosis; tempat ini menjadi rentan terhadap bakteremi atau radang ringan. Karena adanya shunt kanan ke kin maka bakteremi yang biasanya dibersihkan oleh paru-paru sekarang masuk langsung ke dalam sirkulasi sistemik yang kemudian ke daerah infark. Biasanya terjadi pada umur lebih dari 2 tahun. Dua pertiga AO adalah soliter, hanya sepertiga AO adalah multipel. Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotik. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4 stadium yaitu :

1. stadium serebritis dini 2. stadium serebritis lanjut 3. stadium pembentukan kapsul dini 4. stadium pembentukan kapsul lanjut. Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis. Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara hematogen.

II. 4. Manifestasi Klinik Tanda dan gejala awal dan umum dari abses otak adalah nyeri kepala, IM menurun kesadaran mungkin dpat terjadi, kaku kuduk, kejang, defisit motorik, adanya tandatanda peningkatan tekanan intrakranial. Tanda dan gejala lain tergantung dari lokasi abses.

Lokasi

Tanda dan Gejala

Lobus frontalis 1. Kulit kepala lunak/lembut

Sumber Infeksi Sinus paranasal

2. Nyeri kepala yang terlokalisir di frontal 3. Letargi, apatis, disorientasi 4. Hemiparesis /paralisis 5. Kontralateral 6. Demam tinggi 7. Kejang Lobus temporal1. Dispagia 2. Gangguan lapang pandang 3. Distonia 4. Paralisis saraf III dan IV 5. Paralisis fasial kontralateral cerebellum

1. Ataxia ipsilateral 2. Nystagmus

Infeksi pada telinga tengah

3. Dystonia 4. Kaku kuduk positif 5. Nyeri kepala pada suboccipital 6. Disfungsi saraf III, IV, V, VI.

II. 5. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diganostik yang dapat dilakukan pada pasien dengan kasus abses otak, yaitu: 1. X-ray tengkorak, sinus, mastoid, paru-paru: terdapat proses suppurative. 2. CT scan: adanya lokasi abses dan ventrikel terjadi perubahan ukuran. 3. MRI: sama halnya dengan CT scan yaitu adanya lokasi abses dan ventrikel terjadi perubahan ukuran. 4. Biopsi otak: mengetahui jenis kuman patogen. 5. Lumbal Pungsi: meningkatnya sel darah putih, glukosa normal, protein (kontraindikasi pada kemungkinan terjadi herniasi karena peningkatan TIK).

II. 6. Penatalaksanaan Penetalaksaan medis yang dilakukan pada abses otak, yaitu: 1. Penatalaksaan Umum a. Support nutrisi: tinggi kalori dan tinggi protein. b. Terapi peningktan TIK c. Support fungsi tanda vital d. fisioterapi 2. Pembedahan 3. Pengobatan a. Antibiotik: Penicillin G, Chlorampenicol, Nafcillin, Matronidazole. b. Glococorticosteroid: Dexamethasone c. Anticonvulsants: Oilantin.

II. 7. Komplikasi

meningkat

Kemungkinan komplikasi yang akan terjadi pada pasien dengan abses otak adalah: 1. Gangguan mental 2. Paralisis, 3. Kejang 4. Defisit neurologis fokal 5. Hidrosephalus 6. Herniasi

BAB III KONSEP KEPERAWATAN

III. 1. Pengkajian 1. Identitas klien dan psikososial a. usia, b. Jenis kelamin c. Pendidikan d. Alamat e. Pekerjaan f. Agama g. Suku bangsa h. Reran keluarga i. Penampilan sebelum sakit j. Mekanisme koping k. Tempat tinggal yang kumuh 2. Keluhan utama: nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran.

3. Riwayat penyakit sekarang: demam, anoreksi dan malaise, peninggikatan tekanan intrakranial serta gejala nerologik fokal . 4. Riwayat penyakit dahulu: pernah atau tidak menderita infeksi telinga (otitis media, mastoiditis) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis,abses paru,empiema), jantung (endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit. 5. Pemeriksaan fisik a. Tingkat kesadaran b. Nyeri kepala c. Nystagmus d. Ptosis e. Gangguan pendengaran dan penglihatan f. Peningkatan sushu tubuh g. Paralisis/kelemahan otot h. Perubahan pola napas i. Kejang j. Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial k. Kaku kuduk l. Tanda brudzinski’s dan kernig’s positif 6. Pola fungsi kesehatan a. Aktivitas/istirahat Gejala: malaise Tanda: ataksia,masalah berjalan,kelumpuhan,gerakan involunter. b. Sirkulasi Gejala: adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis Tanda: TD meningkat,nadi menurun (berhubungan peningkatan TIK dan pengaruh pada vasomotor). c. Eliminasi Tanda: adanya inkontensia dan/atau retensi d. Nutrisi Gejala: kehilangan nafsu makan,disfagia (pada periode akut). Tanda: anoreksia,muntah.turgor kulit jelek,membran mukosa kering.

e. Higiene Tanda: ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri(pada periode akut) f. Neurosensori Gejala: sakit kepala,parestesia,timbul kejang, gangguan penglihatan Tanda: penurunan status mental dan kesadaran,kehilangan memori, sulit dalam mengambil keputusan,afasia,mata; pupil unisokor (peningkatan TIK),nistagmus.kejang umum lokal. g. Nyeri /kenyamanan Gejala: Sakit kepala mungkin akan diperburuk oleh ketegangan pada leher/punggung kaku. Tanda: tampak terus terjaga. Menangis/mengeluh. h. Pernapasan Gejala: adanya riwayat infeksi sinus atau paru Tanda: peningkatan kerja pernapasan ( episode awal ). Perubahan mental (letargi sampai koma) dan gelisah. i. Keamanan Gejala: adanya riwayat ISPA/infeksi lain meliputi ; mastoiditis, telinga tengah, sinus,abses gigi; infeksi pelvis,abdomen atau kulit;fungsi lumbal, pembedahan, fraktur pada tengkorak/cedera kepala. Tanda: suhu meningkat, diaforesis, menggigil. Kelemahan secara umum; tonus otot flaksid atau spastik;paralisis atau parese.Gangguan sensasi.

III. 2. Diagnosa Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan abses otak, yaitu: 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses peradangan, peningkatan tekanan intra kranial (TIK) Ditandai dengan : Data Subjektif (DS): a. Klien mengatakan nyeri kepala b. Klien mengatakan merasa mual c. Klien mengatakan merasa lemah d. Klien mengatakan bahwa pandangannya kabur Data Objektif (DO): a. Perubahan kesadaran

b. Perubahan tanda vital c. Perubahan pola napas, bradikardia d. Nyeri kepala e. Muntah f. Kelemahan motorik g. Kerusakan pada Nervus kranial III, IV, VI, VII, VIII h. Refleks patologis i. Perubahan nilai ACD j. Hasil pemeriksaan CT scan adanya edema serebri, abses 2. Resiko injuri: jatuh berhubungan dengan aktivitas kejang, penurunan kesadaran dan status mental. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Kelurga klien mengatakan bahwa klien mengalami penurunan kesadaran. Data Objektif (DO): a. Penurunan kesadaran b. Aktivitas kejang c. Perubahan status mental 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan umum, defisit neurologik. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien mengatakan lemah. Data Objektif (DO): a. Paralisis, parese, hemiplegia, tremor b. Kekuatan otot kurang c. Kontraktur, atropi. 4. Hipertermia berhubungan dengan infeksi Ditandai dengan: Data Subjektif (DS):

Pasien mengatakan demam dan rasa haus. Data Objektif (DO): a. Suhu tubuh diatas 38o C. b. Perubahan tanda vital c. Kulit kering d. Peningkatan leukosit 5. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan intake tidak adekuat, kehilangan cairan. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien mengatakan demam dan rasa haus, muntah Data Objektif (DO): a. Suhu tubuh di atas 38oC. b. Turgor kulit kurang c. Mukosa mulut kering d. Urine pekat e. Perubahan nilai elektrolit 6. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, kelemahan, mual dan muntah, intake yang tidak adekuat. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien mengatakan tidak nafsu makan, mual dan muntah. Data Objektif (DO): a. Pasien tidak menghabiskan makanan yang telah disediakan b. Diet makan c. Penurunan BB d. Adanya tanda-tanda kekurangan nutrisi: anemis, cepat lelah. e. Hb dan Albumin kurang dari normal f. Tekanan darah kurang dari normal. 7. Nyeri berhubungan dengan nyeri kepala, kaku kuduk, iritasi meningeal.

Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien menguluh nyeri kepala, kaku pada leher dan merasa tidak nyaman. Data Objektif (DO): a. Ekspresi wajah menunjukkan rasa nyeri b. Kaku kuduk positif III. 3. Intervensi Intervensi yang direncanakan pada klien dengan abses otak, yaitu: 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses peradangan, peningkatan tekanan intra kranial (TIK) Kriteria hasil: a. Mempertahankan tingkat kesadaran dan orientasi b. Tanda vital dalam batas normal c. Tidak terjadi defisit neurologi Intervensi: a. Monitor status neurologi setiap 2 jam: tingkat kesadaran, pupil, refleks, kemampuan motorik, nyri kepala, kaku kuduk. R/ : Tanda dari iritasi meningeal terjadi akibat peradangan dan mengakibatkan peningkatan TIK. b. Monitor tanda vital dan temperatur setiap 2 jam. R/ : perubahan tekanan nadi dan bradikardia indikasi herniasi otak dan peningkatan TIK. c. Kurangi aktivitas yang dapat menimbulkan peningkatan TIK: batuk, mengedan, muntah, menahan napas. R/ : Menhindari peningktan TIK. d. Berikan waktu istirahat yang cukup dan kurangi stimulus lingkungan. R/ : mengurangi peningkatan TIK. e. Tinggikan posisi kepala 30-40o pertahankan kepala pada posisi neutral, hindari fleksi leher. R/ : Memfasilitasi kelancaran aliran darah vena. f. Kolaborasi dalam pemberian diuretik osmotik, steroid, oksigen, antibiotik. R/ : Mengurangi edema serebral, memenuhi kebutuhan oksigenasi, menghilangkan faktor penyebab.

2. Resiko injuri: jatuh berhubungan dengan aktivitas kejang, penurunan kesadaran dan status mental. Kriteria hasil: a. Mempertahankan tingkat kesadaran dan orientasi b. Kejang tidak terjadi c. Injuri tidak terjadi Intervensi: a. Kaji status neurologi setiap 2 jam. R/ : Menentukan keadaan pasien dan resiko kejang. b. Pertahankan keamanan pasien seperti penggunaan penghalangtempat tidur, kesiapan suction, spatel, oksigen. R/ : Mengurangi resiko injuri dan mencegah obstruksi pernapasan. c. Catat aktivitas kejang dan tinggal bersama pasien selama kejang. R/ : Merencanakan intervensi lebih lanjut dan mengurangi kejang. d. Kaji status neurologik dan tanda vital setelah kejang. R/ : Mengetahui respon post kejang. e. Orientasikan pasien ke lingkungan. R/ : Setelah kejang kemungkinan pasien disorientasi. f. Kolaborasi dalal pemberian obat anti kejang. R/ : Mengurangi resiko kejang / menghentikan kejang. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan umum, defisit neurologik. Kriteria hasil: a. Pasien dapat mempertahankan mobilisasinya secara optimal. b. Integritas kulit utuh. c. Tidak terjadi atropi. d. Tidak terjadi kontraktur. Intervensi: a. Kaji kemampuan mobilisasi. R/ : Hemiparese mungkin dapat terjadi.

b. Alih posisi pasien setiap 2 jam. R/ : Menghindari kerusakan kulit. c. Lakukan masage bagian tubuh yang tertekan. R/ : Melancarkan aliran darah dan mencegah dekubitus. d. Lakukan ROM pasive. R/ : Menghindari kontraktur dan atropi. e. Monitor tromboemboli, konstipasi. R/ : Komplikasi immobilitas. f. Konsul pada ahli fisioterapi jika diperlukan. R/ : Perencanaan yang penting lebih lanjut. 4. Hipertermia berhubungan dengan infeksi Kriteria Hasil: a. Suhu tubuh normal 36,5 – 37, 5o C. b. Tanda vital normal. c. Turgor kulit baik. d. Pengeluaran urine tidak pekat, elektrolit dalam batas normal. Intervensi: a. Monitor suhu setiap 2 jam. R/ : Mengetahui suhu tubuh. b. Monitor tanda vital. R/ : Efek dari peningkatan suhu adalah perubahan nadi, pernapasan dan tekanan darah. c. Monitor tanda-tanda dehidrasi. R/ : Tubuh dapat kehilngan cairan melalui kulit dan penguapan. d. Berikan obat anti pireksia. R/ : Mengurangi suhu tubuh. e. Berikan minum yang cukup 2000 cc/hari. R/ : Mencegah dehidrasi. f. Lakukan kompres dingin dan hangat. R/ : Mengurangi suhu tubuh melalui proses konduksi.

g. Monitor tanda-tanda kejang. R/ : Suhu tubuh yang panas berisiko terjadi kejang. 5. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan intake tidak adekuat, kehilangan cairan. Kriteria Hasil : a. Suhu tubuh normal 36,5 – 37, 5o C. b. Tanda vital normal. c. Turgor kulit baik. d. Pengeluaran urine tidak pekat, elektrolit dalam batas normal. Intervensi: a. Ukur tanda vital setiap 4 jam. R/ : Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit menimbulkan perubahan tanda vital seperti penurunan tekanan darah, dan peningkatan nadi. b. Monitir hasil pemeriksaan laboratorium terutama elektrolit. R/ : Mengetahui perbaikan atau ketidak seimbangan cairan dan elektrolit. c. Observasi tanda-tanda dehidrasi. R/ : Mencegah secara dini terjadinya dehidrasi. d. Catat intake dan output cairan. R/ : Mengetahui keseimbangan cairan. e. Berikan minuman dalam porsi sedikit tetapi sering. R/ : Mengurangi distensi gaster. f. Pertahankan temperatur tubuh dalam batas normal. R/ : Peningkatan temperatur mengakibatkan pengeluaran cairan lewat kulit bertambah. g. Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena. R/ : Pemenuhan kebutuhan cairan dengan IV akan mempercepat pemulihan dehidrasi. h. Pertahankan dan monitor tekanan vena setral. R/ : Tekanan vena sentral untuk mengetahui keseimbangan cairan. 6. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, kelemahan, mual dan muntah, intake yang tidak adekuat. Kriteria hasil:

a. Nafsu makan pasien baik. b. Pasien dapat menghabiskan makanan yang telah disediakan RS. c. Terjadi peningkatan BB secara bertahap. d. Tanda-tanda kurang nutrisi tidak ada. e. Hb dan albumin dalam batas normal. f. Tanda vital normal. Intervensi: a. Kaji makanan kesukaan pasien. R/ : Meningkatkan selera makan pasien. b. Berikan makan dalam porsi kecil tapi sering. R/ : Menhindari mual dan muntah. c. Hindari berbaring kurang 1 jam setelah makan. R/ : Posisi berbaring saat makanan dalam lambung penuh dapat mengakibatkan refluks dan tidak nyaman. d. Timbang BB 3 hari sekali secara periodik. R/ : Penuruna BB berarti kebutuhan makanan kurang. e. Berikan antiemetik 1 jam sebelum makan. R/ : Menekan rasa mual dan muntah. f. Kurangi minum sebelum makan. R/ : Minum yang banyak sebelum makan mengurangi intake makanan. g. Hindari keadaan yang dapat menggangu selera makan: lingkungan kotor, bau, kebersihan tempat makan, suara gaduh. R/ : Meningkatkan selera makan. h. Sajikan makanan dalam keadaan hangat dan hygiene, menarik. R/ : Meningkatkan selera makan. i. Lakukan perawatan mulut. R/ : Meningkatkan nafsu makan. j. Monitor kadar Hb dan albumin. R/ : Mengetahui status nutrisi.

7. Nyeri berhubungan dengan nyeri kepala, kaku kuduk, iritasi meningeal. Kriteria hasil: a. Nyeri berkurang atau tidak terjadi b. Ekspresi wajah tidak menunjukkan rasa nyeri c. Tanda vital dalam batas normal. Intervensi a. Kaji tingkat nyeri pasien. R/ : Mengetahui derajat nyeri pasien. b. Kaji faktor yang dapat meringankan dan memperberat nyeri. R/ : Mengetahui penanganan yang efektif. c. Lakukan perubahan posisi. R/ : Meningkatkan rasa nyaman. d. Jaga lingkungan untuk tetap nyaman: mengurangi cahaya, keadaan bising. R/ : Meningkatkan rasa nyaman. e. Lakukan massage pada daerah yang nyeri secara lembut, kompres hangat. R/ : Meningkatkan relaksasi. f. Berikan obat analgetik sesuai program. R/ : Mengurangi nyeri.

III. 4. Implementasi Implementasi atau tindakan keperawatan yang dilakukan berdasarkan intervensi pada pasien abses otak, yaitu: 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses peradangan, peningkatan tekanan intra kranial (TIK) Implementasi: a. Memonitor status neurologi setiap 2 jam: tingkat kesadaran, pupil, refleks, kemampuan motorik, nyri kepala, kaku kuduk. b. Memonitor tanda vital dan temperatur setiap 2 jam. c. Mengurangi aktivitas yang dapat menimbulkan peningkatan TIK: batuk, mengedan, muntah, menahan napas.

d. Memberikan waktu istirahat yang cukup dan kurangi stimulus lingkungan. e. Meninggikan posisi kepala 30-40o pertahankan kepala pada posisi neutral, hindari fleksi leher. g. Mengkolaborasi dalam pemberian diuretik osmotik, steroid, oksigen, antibiotik. 2. Resiko injuri: jatuh berhubungan dengan aktivitas kejang, penurunan kesadaran dan status mental. Implementasi: a. Mengkaji status neurologi setiap 2 jam. b. Mempertahankan keamanan pasien seperti penggunaan penghalang tempat tidur, kesiapan suction, spatel, oksigen. c. Mencatat aktivitas kejang dan tinggal bersama pasien selama kejang. d. Mengkaji status neurologik dan tanda vital setelah kejang. e. Mengorientasikan pasien ke lingkungan. f. Mengkolaborasi dalam pemberian obat anti kejang. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan umum, defisit neurologik. Implementasi: a. Mengkaji kemampuan mobilisasi. b. Mengalih posisi pasien setiap 2 jam. c. Melakukan masage bagian tubuh yang tertekan. d. Melakukan ROM pasive. e. Memonitor tromboemboli, konstipasi. f. Mengkonsultasikan pada ahli fisioterapi jika diperlukan. 4. Hipertermia berhubungan dengan infeksi Implementasi: a. Memonitor suhu setiap 2 jam. b. Memonitor tanda vital. c. Memonitor tanda-tanda dehidrasi. d. Memberikan obat anti pireksia. e. Memberikan minum yang cukup 2000 cc/hari. f. Melakukan kompres dingin dan hangat.

g. Memonitor tanda-tanda kejang. 5. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan intake tidak adekuat, kehilangan cairan. Implementasi: a. Mengukur tanda vital setiap 4 jam. b. Memonitir hasil pemeriksaan laboratorium terutama elektrolit. c. Mengobservasi tanda-tanda dehidrasi. d. Mencatat intake dan output cairan. e. Memberikan minuman dalam porsi sedikit tetapi sering. f. Mempertahankan temperatur tubuh dalam batas normal. g. Mengkolaborasi dalam pemberian cairan intravena. h. Mempertahankan dan monitor tekanan vena setral. 6. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, kelemahan, mual dan muntah, intake yang tidak adekuat. Implementasi: a. Mengkaji makanan kesukaan pasien. b. Memberikan makan dalam porsi kecil tapi sering. c. Menhindari berbaring kurang 1 jam setelah makan. d. Menimbang BB 3 hari sekali secara periodik. e. Memberikan antiemetik 1 jam sebelum makan. f. Mengurangi minum sebelum makan. g. Menghindari keadaan yang dapat menggangu selera makan: lingkungan kotor, bau, kebersihan tempat makan, suara gaduh. h. Menyajikan makanan dalam keadaan hangat dan hygiene, menarik. i. Melakukan perawatan mulut. j. Memonitor kadar Hb dan albumin. 7. Nyeri berhubungan dengan nyeri kepala, kaku kuduk, iritasi meningeal. Implementasi: a. Mengkaji tingkat nyeri pasien. b. Mengkaji faktor yang dapat meringankan dan memperberat nyeri.

c. Melakukan perubahan posisi. d. Menjaga lingkungan untuk tetap nyaman: mengurangi cahaya, keadaan bising. e. Melakukan massage pada daerah yang nyeri secara lembut, kompres hangat. f. Memberikan obat analgetik sesuai program.

III. 5. Evaluasi Hasil evaluasi yang diharapkan setelah dilakukan implementasi dari intervensi yang direncanakan, yaitu: 1. Mencapai perubahan tingkat kesadaran dan orientasi yang meningkat. a. Menunjukkan peningkatan kesadaran b. Pandangan bagus c. Menurunnya kelemahan motorik d. Tanda vital dalam batas normal e. Menunjukkan tidak terjadinya defisit neurologi f. Menunjukkan tidak adanya refleks patologis. 2. Tidak terjadinya resiko yang dapat menyebabkan injuri a. Menunjukkan peningkatan kesadaran b. Tidak terjadi kejang c. Peningkatan satus mental 3. Klien mampu beradaptasi terhadap ganggaun mobilitas fisik yang dialami a. Menunjukkan mobilisasi secara aktif dan optimal b. Menunjukkan integritas kulit yang utuh c. Tidak terjadinya atropi d. Tidak terjadinya kontraktur. e. Menetapkan program istirahat dan latihan yang seimbang. f. Menunjukkan partisipasi dalam perawatan. g. Menetapkan maantaati jadwal medikasi yang memaksimalkan kekuatan otot. h. Tidak adanya komplikasi berhubungan dengan immobilitas yang dialami. 4. Mencapai penurunan suhu tubuh

a. Menunjukkan tanda vital yang normal b. Menunjukkan pengeluaran urine yang tidak pekat c. Menunjukkan suhu tubuh normal d. Menunjukkan turgor kulit yang baik 5. Mencapai kebutuhan nutrisi yang terpenuhi a. Menunjukkan tanda-tanda nutrisi yang terpenuhi. b. Mentaati program medikasi c. Menujukkan nafsu makan yang baik d. Menunjukkan intake makanan yang baik. e. Menunjukkan peningkatan berat badan.

BAB IV PENUTUP

IV. 1. Kesimpulan Abses otak (AO) adalah suatu reaksi piogenik yang terlokalisir pada jaringan otak. Kasus ini bisa terjadi pada anak dan dewasa. Infeksi yang terjadi diakibatkan oleh jamur, bakteri, parasit dan komplikasi lain, misalnya otitis media dan mastoiditis. Pada pasien yang mengalami abses otak akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: gangguan mental, paralisis, kejang, defisit neurologis fokal, hidrosephalus serta herniasi. Kasus ini dapat menyebabkan masalah keperawatan, seperti: perubahan perfusi jaringan serebral, resiko injuri, kerusakan mobilitas fisik, hipertermia, ketidakseimbangan cairan, nutrisi kurang dari kebutuhan serta nyeri.

IV. 2. Saran Abses otak dapat menyebabkan perubahan status kesehatan pada penderitanya serta dapat menimbulkan komplikasi yang dapat memperparah kondisi prognosis pada klien dengan kasus tersebut. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC: Jakarta

Guyton. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi. EGC: Jakarta.

Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi I. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Jukarnain. 2011. Keperawatan Medikal – Bedah gangguan Sistem Persarafan.

Long,

Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.

Proses

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6. EGC: Jakarta.

ASUHAN KEPERAWATAN Abses Otak Pengertian Abses Otak ( Infeksi Intrakranial ) Abses otak merupakan kumpulan dari unsur-unsur infeksius dalam jaringan otak (Arif muttaqin, 2011). Ini dapat terjadi melalui invasi otak langsung dari trauma intrakranial atau pembedahan ; melalui penyebaran infeksi dari daerah lain seperti sinus, telinga dan gigi (infeksi sisnus paranasal, otitits media, sepsis gigi); atau melalui penyebaran infeksi dari organ lain (abses paru-paru, endokarditis infektif) dan dapat dapat menjadi komplikasi yang berhubungan dengan beberapa bentuk meningitis. Abses otak merupakan komplikasi yang dikaitkan dengan beberapa bentuk meningitis. Abses otak adalah komplikasi yang meningkat pada pasien yang system imunnya disupresi baik karena terapi atau penyakit (Smaltzer, 2002). Untuk mencegah abses otak maka perlu dilakukan pengobatan yang tepat pada otitis media, mastoididtis, sinusistis, infeksi gigi dan infeksi sistemik. Etiologi Berbagai mikroorganisme dapat ditemukan pada Abses Otak, yaitu bakteri, jamur dan parasit. a. Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus alpha hemolyticus, E. coli dan Baeteroides. Abses oleh Staphylococcus biasanya berkembang dari perjalanan otitis media atau fraktur kranii. Bila infeksi berasal dari sinus paranasalis penyebabnya adalah Streptococcus aerob dan anaerob, Staphylococcus dan Haemophilus influenzae. Abses oleh Streptococcus dan Pneumococcus sering merupakan komplikasi infeksi paru. Abses pada penderita jantung bawaan sianotik umumnya oleh Streptococcus anaerob. b. Jamur penyebab Abses Otak antara lain Nocardia asteroides, Cladosporium trichoides dan spesies Candida dan Aspergillus. Walaupun jarang, Entamuba histolitica, suatu parasit amuba usus dapat menimbulkan AbsesOtak secara hematogen. c. Komplikasi dari infeksi telinga (otitis media, mastoiditis )hampir setengah dari jumlah penyebab abses otak serta Komplikasi infeksi lainnya seperti ; paru-paru (bronkiektaksis,abses paru,empiema) jantung ( endokarditis ), organ pelvis, gigi dan kulit.

Patofisiologi/ WOC Fase awal abses otak ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi leukosit atau melunaknya parenkim. Trombisis sepsis dan edema. Beberapa hari atau minggu dari fase awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista berisi pus. Kemudian terjadi ruptur, bila terjadi ruptur maka infeksi akan meluas keseluruh otak dan bisa timbul meningitis. Abses Otak dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu. Abses Otak bersifat soliter atau multipel. Yang multipel biasanya ditemukan pada penyakit jantung bawaan sianotik; adanya shunt kanan ke kiri akan menyebabkan darah sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia. Polisitemia ini memudahkan terjadinya trombo-emboli. Umumnya lokasi abses pada tempat yang sebelumnya telah mengalami infark akibat trombosis; tempat ini menjadi rentan terhadap bakteremi atau radang ringan. Karena adanya shunt kanan ke kin maka bakteremi yang biasanya dibersihkan oleh paru-paru sekarang masuk langsung ke dalam sirkulasi sistemik yang kemudian ke daerah infark. Biasanya terjadi pada umur lebih dari 2 tahun. Dua pertiga Abses Otak adalah soliter, hanya sepertiga Abses Otak adalah multipel. Pada tahap awal Abses Otak terjadi reaksi radang yang difusi pada jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai odema, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotik. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4 stadium yaitu :

1) stadium serebritis dini 2) stadium serebritis lanjut 3) stadium pembentukan kapsul dini 4) stadium pembentukan kapsul lanjut. Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis. Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan Abses Otak yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan Abses Otak lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara hematogen.

Mikroorganisme penyebab abses masuk ke otak dengan cara : 1. Implanmentasi langsung akibat trauma,tindakan operasi ,fungsi lumbal, penyebab infeksi kronik pada telinga,sinus mastoid,di mana bakteri masuk ke otak dengan melalui tulang atau pembuluh darah. 2. Penyebab infeksi dari focus primer pada paru-paru seperti abses paru, bronchiactasis, empyema, pada endokarditis dan perikarditis. 3. Komplikasi pada meninghitis purulenta. Mikroorganisme yang umum menyebabkan abses otak adalah streptococci, bacteriodes fragilis,Esterichia coli. Setelah terjadi implamentasi bakteri kemudian terjadi reaksi peradangan inkal dengan karakteristik edema local, hyperaemia ,adanya infiltrasi dan jaringan menjadi lunak.pada tingkat ini lokasi pembentukan abses Nampak kongestik. Lunak, mengandung minyak perdarahan petechikal dan sebukan neoutrofil.beberapa hari sampai beberapa bulan jaringan otak tejadi nekrosis dan mengeluarkan m.issa pus.di luar jaringan nekrotik tampak jaringan granulasi yang mengandung kapiler,fibroslat,limposit dan sel plasmajika tanpa pengobatan yang memadai pus akan membesar,menyebar dan meluas subarachnoid dan ventrikel. Tanda dan GEJALA Gejala yang timbul bervariasi dari seorang dengan yang lain, tergantung pada ukuran dan lokasi abses pada otak. Lebih dari 75% penderita mengeluh sakit kepala dan merupakan gejala utama yang paling sering dikeluhkan. Sakit kepala yang dirasakan terpusat pada daerah abses dan rasasakit semakin hebat dan parah. Aspirin atau obat lainnya tidak akan menolong menyembuhkan sakit kepala tersebut. Kurang lebih separuh dari penderita mengalami demam tetapi tidak tinggi. Gejala-gejala lainnya adalah mual dan muntah, kaku kuduk, kejang, gangguan kepribadian dankelemahan otot pada salah satu sisi bagian tubuh

Komplikasi Komplikasi meliputi : – retardasi mental – epilepsi – kelainan neurologik fokal yang lebih berat. Komplikasi ini terjadi bila Abses Otak tidak sembuh sempurna.

Manifestasi Klinis Manifestasi Klinik dari abses otak diakibatkan oleh perubahan pasca dinamika intracranial (edema, pergeseran otak), infeksi atau lokasi abses. Sakit kepala biasanya memburuk pada pagi hari, adalah gejala paling lanjut pasien. Muntah juga umum terjadi, tanda neurologik fokal (kelemahan ekstermitas, penurunan penglihatan, kejang) dapat terjadi bergantung pada tempat abses.Terdapat perubahan pada status mental pasien seperti ditunjukan pada perilaku letargik, peka, atau perilaku disorientasi, demam mungkin ada tetapi juga tidak. Penatalaksanaan Medis Sasaran penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan abses, abses otak diobati dengan terapi antimikrobadan irisan pembedahan atau aspirasi. Pengobatan antimikroba diberikan untuk menghilangkan organisme sebagai penyebab atau menurunkan perkembangan virus. Dosis besara melalui intravena biasanya ditentukan praoperatif untuk menembus jaringan otak dan abses otak. Terapi diteruskan

pascaoperasi, Kortikosteroid dapat diberikan untuk menolong merunkan radang edema serebral jika pasien memperlihatkan adanya peningkatan deficit neurologik. Obat-obat antikonvulsan (fenitoin, fenobarbital) dapat deberikan sebagai profilaksis untuk mencegah terjadinya kejang. Abses yang luas dapat diobati dengan terapi antimikroba yang tepat dengan pemantauan ketat melalui pengamatan dengan CT. Setelah pengobatan abses otak, defisit neurologik dapat terjaid berupa hemiparesis, kejang, gangguan penglihatan dan kelumpuhan saraf kraniala karena kemungkinan adanya gangguan jaringan otak. Serangan tulang biasanya terjadi dengan angka kematian yang tinggi. Asuhan Keperawatan Klien dengan Abses Otak Abses otak merupakan kumpulan dari unsur-unsur infeksius dalam jaringan otak. Abses ini dapat terjadi melalui : 1. Invasi Otak langsung dari trauma intracranial atau pembedahan. 2. Penyebaran infeksi dari daerah lain dari daerah lain seperti sinus, telinga, dan gigi (infeksi sinus paranasal, otitis media dan sepsis gigi) 3. Penyebaran infeksi dari organ lain (abses paru, endokarditis infektif) dan dapat menjadi komplikasi yang berhubungan dengan beberpa bentuk abses otak Asuhan Keperawatan Klien Dengan Abses Otak Pengkajian Pengkajian keperawatan abses otak meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan pengkajian psikososial. Hasil pengkajian yang didapatkan dari abses otak diakibatkan oleh perubahan pada dinamika intracranial (edema, pergeseran otak), infeksi atau lokasi abses. Anamnesis Keluhan utama yang sering menjadi alas an klien untuk meminta bantuan pelayanan kesehatan adalah adanya gejala neurologis (kelemahan ekstremitas, penurunan penglihatan dan kejang). Riwayat Penyakit Saat ini Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui jenis kuman penyebab. Tanyakan kepada klien dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien abses otak, biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan akibat dari proses supurasi infeksis dan peningkatan TIK. Keluhan tersebut adalah kelemahan ekstermitas, penurunan penglihatan, dan kejang. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang talah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran disebabkan oleh abses otak bakteri. Disorientasi dan gangguan memori biasanya merupakan perubahan lanjut dari abses otak. Perubahan yang terjadi bergantung pada beratnya penyakit, demikian pula respon individu terhadap proses fisiologis. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi, sesuai perkembangan penyakit dapat terjadi letargi, tidak respontif dan koma. Riwayat Penyakit Dahulu Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami riwayat trauma langsung dari trauma intra cranial atau pembedahan, pernahkah mengalami infeksi dari daerah lain seperti sinus, telinga, gigi (infeksi sinus paranasal, otitis media, sepsis gigi), kemungkinan penyebaran infeksi dari organ lain (abses paru, endokarditis infektif) dan dapat menjadi komplikasi akibat beberapa bentuk meningitis yang menjadikan terjadinya abse otak. Pengkajian Psiko-sosio-spiritual Pengkajian psikologis klien abses otak meliputi beberapa dimensi yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien. Sebagian besar pengkajian ini dapat diselesaikan melalui interaksi menyeluruh dengan k;lien dalam pelaksanaan pengkajian lain dengan member pertanyaan dan tetap melakukan pengawasan sepanjang waktu untuk menentukan kelayakan ekspresi emosi dan pikiran. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respon

emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respond an pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandanga terhadap dirinya yang salah (ganguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stres meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stress. Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini member dampak padas status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memrlukan dana yang tidak sedikit. Perawata juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neorologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperwatan dalm mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu ketebatsan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan peran social klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam system dukungan individu. Pemeriksaan Fisik Setelah melukakan anemnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus periksaaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa tanda-tanda vital (TTV). Pada klien abses otak biasanya didapatkan peningkatkan suhu tubuh lebih dari C. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan proses supurasi di jaringan otak yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernapasan sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan sebelum mengalami abses otak. TD biasanya normal atau meningkat berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK. B1 (Breathing) Inspeksi kemampuan klien batuk, produksi sputum, sesak napas, dan peningktan frekuensi pernapasan yang sering di dapatkan pada klien abses otak yang disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan. Palpasi thorak untuk menilai taktil premitus, pada efusi pleura atau abses paru taktil premitus akan menurun pada sisi yang sakit. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronchi pada klien dengan peningkatan akumulasi sekret.

B2 (Blood) Pengkajian pada sistem kardiovaskuler terutama dilakukan pada klien abses otak pada tahap lanjut seperti apabila klien sudah mengalami renjatan (syok). B3 (Brain) Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkaan pengkajian pada sistem lainnya. Tingkat kesadaran Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persarafan. Beberapa sistem digunakan untuk memebuat peningkatan perubahan dalam kewaspadaan dan kesadaran. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien abses otak biasanya berkisar pada tingkat letergi, stupor, dan semikomatosa. Apabiala klien sudah mengalami koma maka penilaiaan GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan. Fungsi Serebral Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara, dan observasi ekspresi wajah serta aktivitas motorik yang pada klien abses otak tahap lanjut biasanya status mental klien mengalami perubahan.

Pemeriksaan saraf kranial Saraf I. Biasanya pada klien abses otak tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan. Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal. Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan terutama pada abses otak supuratif diserati abses srebri dan efusi subdural yang menyebabkan terjadinya peningkatan TIK. Saraf III, IV, VI. Pemeriksaan dan fungsi reaksi pupil pada klien abses otak yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya tanpa kelainan. Pada tahap lanjut abses otak yang telah mengganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien abses otak mengeluh mengalami fotobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya. Saraf V. Pada klien abses otak umumnya tidak didapatkan paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduksi dan tuli persepsi. Saraf IX dan X. Kemampuan menelan baik. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi leher dan kaku leher (rigiditas nukal). Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal. Sistem motorik Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada abses otak tahap lanjut mengalami perubahan sehingga klien mengalami kelemahan ekstremitas dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Pemeriksaan refleks Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau periosteum derajat reflek pada respon normal. Gerakan involunter Tidak ditemukan adanya tremor, Tic,dan distonia. Pada keadaan tertentu klien biasanya mengalami kejang umum terutama pada anak dengan abses otak disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang dan peningkatan TIK juga berhubungan dengan abses otak. Sistem sensorik Pemeriksaan sensorik pada abses otak biasanya didapatkan perasaan raba normal, perasaan nyeri normal. Perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh. Perasaan proprioseptif normal dan perasaan diskriminatif normal. Pemeriksaan diagnostik Pengulangan pengkajian neurologis dan pengkajian klien secara terus-menerus penting untuk menentukan letak abses yang akurat. CT scan sangat baik dalam menentukan letak abses, setelah evolusi dan resolusi lesi-lesi supuratif, dan dalam menentukan waktu yang optimal untuk dilaksanakan intervensi pembedahan. Penatalaksanaan medis Sasaran penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan abses. 1. Abses otak diobati dengan terapi antimikroba dan irisan pembedahan atau aspirasi. 2. Pengobatan antimikroba diberikan untuk menghilangkan organisme penyebab atau menurunkan perkembangan virus. 3. Dosis besar melalui intravena biasanya ditentukan praoperatif untuk menembus jaringan otak dan abses otak. Terapi diteruskan pada pasca operasi.

4. Kortikoesteroid dapat diberikan untuk menolong menurunkan peradangan edema serebri jika klien memperlihatkan adanya peningkatan defisit neurologis. 5. Obat-obatan antikonvulsa ( feniton, fenobarbital) dapat diberikan sebagai prokfilak mencegah terjadinya kejang. Abses yang luas dapat diobati dengan terapi antimikroba yang tepat, dengan pemantauan ketat melalui pengamatan melalui CT scan. 6. Setelah pengobatan abses otak, defisit neurologis dapat terjadi berupa hemiparesis, kejang, gangguan penglihatan, dan kelumpuhan saraf kranial karena kemungkinan adanya ganguan jaringan otak. Serangan ulang biasanya terjadi, dengan angka kematian tinggi. Diagnosis Keperawatan 1. Ketidakefektifan jalan nafas yang berhubunga dengan akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran. 2. Perubahan perfusi jaringan otak yang behubungan dengan peradangan dan edema pada otak dan selaput otak. 3. Peningkatan suhu tubuh. 4. Resiko tingi cedera yang berhubungan dengan kejang, perubahan status mental, dan penurunan tingkat kesadaran. 5. Gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik. 6. Gangguan persepsi sensorik yang berhubungan dengan kerusakan penerima rangsang sensorik, tranmisi sensorik, dan integrasi sensorik. 7. Kopling individu tidak efektif yang behubungan dengan prognosis penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi kognitif, perubahan aktual dalam sruktur dan fungsi, ketidakberdayaan dan merasa tidak ada harapan. Rencana Intervensi Tujuan rencana intervensi keperawatan adalah membantu klien dalam mengatasi masalah kebutuhan dasarnya, meningkatkan kesehatan klien secara optimal.

Nyeri kepala yang berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak Tujuan

: Dalam waktu 3 x 24 jam keluhan/rasa sakit terkendali

Kriteria Hasil : Klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks dan klien memverbalisasikan penurunan rasa sakit Intervensi

Rasionalisasi

Usahakan membuat lingkungan yang aman Menurunkan reaksi terhadap rangsangan dan tenang eksternal atau kesensifitan terhadap cahaya dan menganjurkan klien beristirahat Kompre dingin (es) pada kepala

Dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak

Lakukan penatalaksanaan nyeri dengan Membantu menurunkan metode distraksi dan relaksasi napas dalam. stimulasi sensasi nyeri.

(memutuskan)

Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai Dapat membantu relaksasi otot-otot yang kondisi dengan lembut dan hati-hati. tegang dan dapat menurunkan nyeri/rasa tidak nyaman. Kolaborasi pemberian analgesik

Mungkin diperlukan untuk menurunkan rasa sakit

Catatan : Narkotika merupakan kontraindikasi karena berdampak pada status neurologis sehingga sukar untuk di kaji.

DAFTAR PUSTAKA

Smaltzer, C.2002.Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah Edisi 8 Volume 3.Buku Kedokteran EGC : Jakarta.

Muttaqin, Arif.2011.Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Ganggguan Sistem Pernafasan.Salemba Medika : Jakarta.

Mandal, BK.2006.Lecture Notes Penyakit Infeksi Edisi 6.Erlangga Medical Series : Jakarta.

/files/cdk/files/10AbsesOtak89.pdf/10AbsesOtak89.html

BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang Abses otak (AO) adalah suatu reaksi piogenik yang terlokalisir pada jaringan otak. Kasus ini bisa terjadi pada anak dan dewasa. Infeksi yang terjadi diakibatkan oleh jamur, bakteri, parasit dan komplikasi lain, misalnya otitis media dan mastoiditis. Pada pasien yang mengalami abses otak akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: gangguan mental, paralisis, kejang, defisit neurologis fokal, hidrosephalus serta herniasi, oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.

I. 2. Permasalahan Permasalahan yang timbul sehingga disusunnya asuhan keperawatan ini adalah bagaimana seharusnya tindakan asuhan keperawatan pada sistem persarafan dengan kasus abses otak?

I. 3. Tujuan Tujuan disusunnya asuhan keperawatan ini adalah: 1. Tujuan Umum Untuk memenuhi kegiatan belajar mengajar dari mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II (KMB II). 2. Tujuan Khusus

a. Memperoleh gambaran mengenai abses otak. b. Dapat memahami tentang konsep asuhan keperawatan pasien dengan abses otak.

I. 4. Manfaat Manfaat dari penyusunan asuhan keperawatan ini, yaitu: 1. Kegunaan Ilmiah a. Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa b. Sebagai salah satu tugas akademik 2. Kegunaan Praktis Bermanfaat bagi tenaga perawat dalam penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan abses otak

BAB II KONSEP MEDIS

II. 1. Pengertian Abses otak (AO) adalah suatu proses infeksi yang melibatkan parenkim otak; terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan atau melaui sistem vaskular. Timbunan abses pada daerah otak mempunyai daerah spesifik, pada daerah cerebrum 75% dan cerebellum 25%.

II. 2. Etiologi Penyebab dari abses otak ini antara lain, yaitu: 1. Bakteri Bakteri yang tersering adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob, Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus alpha hemolyticus, E. coli dan Baeteroides. Abses oleh Staphylococcus biasanya berkembang dari perjalanan otitis media atau fraktur kranii. Bila infeksi berasal dari sinus paranasalis penyebabnya adalah Streptococcus aerob dan anaerob, Staphylococcus dan Haemophilus influenzae. Abses oleh Streptococcus dan Pneumococcus sering merupakan komplikasi infeksi paru. Abses pada penderita jantung bawaan sianotik umumnya oleh Streptococcus anaerob. 2. Jamur Jamur penyebab AO antara lain Nocardia asteroides, Cladosporium trichoides dan spesies Candida dan Aspergillus.

3. Parasit Walaupun jarang, Entamuba histolitica, suatu parasit amuba usus dapat menimbulkan AO secara hematogen. 4. Komplikasi dari infeksi lain Komplikasi dari infeksi telinga (otitis media, mastoiditis )hampir setengah dari jumlah penyebab abses otak serta Komplikasi infeksi lainnya seperti: paru-paru (bronkiektaksis, abses paru, empisema), jantung (endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit.

II. 3. Patofisiologi Mikroorganisme penyebab abses masuk ke otak dengan cara: 1. Implantasi langsung akibat trauma, tindakan operasi, pungsi lumbal. Penyebaran infeksi kronik pada telinga, sinus, mastoid, dimana bakteri dapat masuk ke otak dengan melalui tulang atau pembuluh darah. 2. Penyebaran bakteri dari fokus primer pada paru-paru seperti abses paru, bronchiactasis, empyema, pada endokarditis dan perikarditis. 3. Komplikasi dari meningitis purulenta. Fase awal abses otak ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi leukosit atau melunaknya parenkim. Trombisis sepsis dan edema. Beberapa hari atau minggu dari fase awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista berisi pus. Kemudian terjadi ruptur, bila terjadi ruptur maka infeksi akan meluas keseluruh otak dan bisa timbul meningitis. AO dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu. AO bersifat soliter atau multipel. Yang multipel biasanya ditemukan pada penyakit jantung bawaan sianotik; adanya shunt kanan ke kiri akan menyebabkan darah sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia. Polisitemia ini memudahkan terjadinya trombo-emboli. Umumnya lokasi abses pada tempat yang sebelumnya telah mengalami infark akibat trombosis; tempat ini menjadi rentan terhadap bakteremi atau radang ringan. Karena adanya shunt kanan ke kin maka bakteremi yang biasanya dibersihkan oleh paru-paru sekarang masuk langsung ke dalam sirkulasi sistemik yang kemudian ke daerah infark. Biasanya terjadi pada umur lebih dari 2 tahun. Dua pertiga AO adalah soliter, hanya sepertiga AO adalah multipel. Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotik. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4 stadium yaitu :

1. stadium serebritis dini 2. stadium serebritis lanjut 3. stadium pembentukan kapsul dini 4. stadium pembentukan kapsul lanjut. Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis. Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara hematogen.

II. 4. Manifestasi Klinik Tanda dan gejala awal dan umum dari abses otak adalah nyeri kepala, IM menurun kesadaran mungkin dpat terjadi, kaku kuduk, kejang, defisit motorik, adanya tandatanda peningkatan tekanan intrakranial. Tanda dan gejala lain tergantung dari lokasi abses.

Lokasi

Tanda dan Gejala

Lobus frontalis 1. Kulit kepala lunak/lembut

Sumber Infeksi Sinus paranasal

2. Nyeri kepala yang terlokalisir di frontal 3. Letargi, apatis, disorientasi 4. Hemiparesis /paralisis 5. Kontralateral 6. Demam tinggi 7. Kejang Lobus temporal1. Dispagia 2. Gangguan lapang pandang 3. Distonia 4. Paralisis saraf III dan IV 5. Paralisis fasial kontralateral cerebellum

1. Ataxia ipsilateral 2. Nystagmus

Infeksi pada telinga tengah

3. Dystonia 4. Kaku kuduk positif 5. Nyeri kepala pada suboccipital 6. Disfungsi saraf III, IV, V, VI.

II. 5. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diganostik yang dapat dilakukan pada pasien dengan kasus abses otak, yaitu: 1. X-ray tengkorak, sinus, mastoid, paru-paru: terdapat proses suppurative. 2. CT scan: adanya lokasi abses dan ventrikel terjadi perubahan ukuran. 3. MRI: sama halnya dengan CT scan yaitu adanya lokasi abses dan ventrikel terjadi perubahan ukuran. 4. Biopsi otak: mengetahui jenis kuman patogen. 5. Lumbal Pungsi: meningkatnya sel darah putih, glukosa normal, protein (kontraindikasi pada kemungkinan terjadi herniasi karena peningkatan TIK).

II. 6. Penatalaksanaan Penetalaksaan medis yang dilakukan pada abses otak, yaitu: 1. Penatalaksaan Umum a. Support nutrisi: tinggi kalori dan tinggi protein. b. Terapi peningktan TIK c. Support fungsi tanda vital d. fisioterapi 2. Pembedahan 3. Pengobatan a. Antibiotik: Penicillin G, Chlorampenicol, Nafcillin, Matronidazole. b. Glococorticosteroid: Dexamethasone c. Anticonvulsants: Oilantin.

II. 7. Komplikasi

meningkat

Kemungkinan komplikasi yang akan terjadi pada pasien dengan abses otak adalah:

ASUHAN KEPERAWATAN ABSES OTAK BAB I PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang Abses otak (AO) adalah suatu reaksi piogenik yang terlokalisir pada jaringan otak. Kasus ini bisa terjadi pada anak dan dewasa. Infeksi yang terjadi diakibatkan oleh jamur, bakteri, parasit dan komplikasi lain, misalnya otitis media dan mastoiditis. Pada pasien yang mengalami abses otak akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: gangguan mental, paralisis, kejang, defisit neurologis fokal, hidrosephalus serta herniasi, oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.

I. 2. Permasalahan Permasalahan yang timbul sehingga disusunnya asuhan keperawatan ini adalah bagaimana seharusnya tindakan asuhan keperawatan pada sistem persarafan dengan kasus abses otak?

I. 3. Tujuan Tujuan disusunnya asuhan keperawatan ini adalah: 1. Tujuan Umum Untuk memenuhi kegiatan belajar mengajar dari mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II (KMB II). 2. Tujuan Khusus a. Memperoleh gambaran mengenai abses otak. b. Dapat memahami tentang konsep asuhan keperawatan pasien dengan abses otak.

I. 4. Manfaat Manfaat dari penyusunan asuhan keperawatan ini, yaitu: 1. Kegunaan Ilmiah a. Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa b. Sebagai salah satu tugas akademik 2. Kegunaan Praktis

Bermanfaat bagi tenaga perawat dalam penerapan asuhan keperawatan pada klien dengan abses otak

BAB II KONSEP MEDIS

II. 1. Pengertian Abses otak (AO) adalah suatu proses infeksi yang melibatkan parenkim otak; terutama disebabkan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan oleh penyebaran infeksi dari fokus yang berdekatan atau melaui sistem vaskular. Timbunan abses pada daerah otak mempunyai daerah spesifik, pada daerah cerebrum 75% dan cerebellum 25%.

II. 2. Etiologi Penyebab dari abses otak ini antara lain, yaitu: 1. Bakteri Bakteri yang tersering adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus anaerob, Streptococcus beta hemolyticus, Streptococcus alpha hemolyticus, E. coli dan Baeteroides. Abses oleh Staphylococcus biasanya berkembang dari perjalanan otitis media atau fraktur kranii. Bila infeksi berasal dari sinus paranasalis penyebabnya adalah Streptococcus aerob dan anaerob, Staphylococcus dan Haemophilus influenzae. Abses oleh Streptococcus dan Pneumococcus sering merupakan komplikasi infeksi paru. Abses pada penderita jantung bawaan sianotik umumnya oleh Streptococcus anaerob. 2. Jamur Jamur penyebab AO antara lain Nocardia asteroides, Cladosporium trichoides dan spesies Candida dan Aspergillus. 3. Parasit Walaupun jarang, Entamuba histolitica, suatu parasit amuba usus dapat menimbulkan AO secara hematogen. 4. Komplikasi dari infeksi lain Komplikasi dari infeksi telinga (otitis media, mastoiditis )hampir setengah dari jumlah penyebab abses otak serta Komplikasi infeksi lainnya seperti: paru-paru (bronkiektaksis, abses paru, empisema), jantung (endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit.

II. 3. Patofisiologi Mikroorganisme penyebab abses masuk ke otak dengan cara:

1. Implantasi langsung akibat trauma, tindakan operasi, pungsi lumbal. Penyebaran infeksi kronik pada telinga, sinus, mastoid, dimana bakteri dapat masuk ke otak dengan melalui tulang atau pembuluh darah. 2. Penyebaran bakteri dari fokus primer pada paru-paru seperti abses paru, bronchiactasis, empyema, pada endokarditis dan perikarditis. 3. Komplikasi dari meningitis purulenta. Fase awal abses otak ditandai dengan edema lokal, hiperemia infiltrasi leukosit atau melunaknya parenkim. Trombisis sepsis dan edema. Beberapa hari atau minggu dari fase awal terjadi proses liquefaction atau dinding kista berisi pus. Kemudian terjadi ruptur, bila terjadi ruptur maka infeksi akan meluas keseluruh otak dan bisa timbul meningitis. AO dapat terjadi akibat penyebaran perkontinuitatum dari fokus infeksi di sekitar otak maupun secara hematogen dari tempat yang jauh, atau secara langsung seperti trauma kepala dan operasi kraniotomi. Abses yang terjadi oleh penyebaran hematogen dapat pada setiap bagian otak, tetapi paling sering pada pertemuan substansia alba dan grisea; sedangkan yang perkontinuitatum biasanya berlokasi pada daerah dekat permukaan otak pada lobus tertentu. AO bersifat soliter atau multipel. Yang multipel biasanya ditemukan pada penyakit jantung bawaan sianotik; adanya shunt kanan ke kiri akan menyebabkan darah sistemik selalu tidak jenuh sehingga sekunder terjadi polisitemia. Polisitemia ini memudahkan terjadinya trombo-emboli. Umumnya lokasi abses pada tempat yang sebelumnya telah mengalami infark akibat trombosis; tempat ini menjadi rentan terhadap bakteremi atau radang ringan. Karena adanya shunt kanan ke kin maka bakteremi yang biasanya dibersihkan oleh paru-paru sekarang masuk langsung ke dalam sirkulasi sistemik yang kemudian ke daerah infark. Biasanya terjadi pada umur lebih dari 2 tahun. Dua pertiga AO adalah soliter, hanya sepertiga AO adalah multipel. Pada tahap awal AO terjadi reaksi radang yang difus pada jaringan otak dengan infiltrasi lekosit disertai udem, perlunakan dan kongesti jaringan otak, kadang-kadang disertai bintik perdarahan. Setelah beberapa hari sampai beberapa minggu terjadi nekrosis dan pencairan pada pusat lesi sehingga membentuk suatu rongga abses. Astroglia, fibroblas dan makrofag mengelilingi jaringan yang nekrotik. Mula-mula abses tidak berbatas tegas tetapi lama kelamaan dengan fibrosis yang progresif terbentuk kapsul dengan dinding yang konsentris. Tebal kapsul antara beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter. Beberapa ahli membagi perubahan patologi AO dalam 4 stadium yaitu : 1. stadium serebritis dini 2. stadium serebritis lanjut 3. stadium pembentukan kapsul dini 4. stadium pembentukan kapsul lanjut. Abses dalam kapsul substansia alba dapat makin membesar dan meluas ke arah ventrikel sehingga bila terjadi ruptur, dapat menimbulkan meningitis. Infeksi jaringan fasial, selulitis orbita, sinusitis etmoidalis, amputasi meningoensefalokel nasal dan abses apikal dental dapat menyebabkan AO yang berlokasi pada lobus frontalis. Otitis media, mastoiditis terutama menyebabkan AO lobus temporalis dan serebelum, sedang abses lobus parietalis biasanya terjadi secara hematogen.

II. 4. Manifestasi Klinik Tanda dan gejala awal dan umum dari abses otak adalah nyeri kepala, IM menurun kesadaran mungkin dpat terjadi, kaku kuduk, kejang, defisit motorik, adanya tandatanda peningkatan tekanan intrakranial. Tanda dan gejala lain tergantung dari lokasi abses.

Lokasi

Tanda dan Gejala

Lobus frontalis 1. Kulit kepala lunak/lembut

Sumber Infeksi Sinus paranasal

2. Nyeri kepala yang terlokalisir di frontal 3. Letargi, apatis, disorientasi 4. Hemiparesis /paralisis 5. Kontralateral 6. Demam tinggi 7. Kejang Lobus temporal1. Dispagia 2. Gangguan lapang pandang 3. Distonia 4. Paralisis saraf III dan IV 5. Paralisis fasial kontralateral cerebellum

1. Ataxia ipsilateral 2. Nystagmus

Infeksi pada telinga tengah

3. Dystonia 4. Kaku kuduk positif 5. Nyeri kepala pada suboccipital 6. Disfungsi saraf III, IV, V, VI.

II. 5. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diganostik yang dapat dilakukan pada pasien dengan kasus abses otak, yaitu: 1. X-ray tengkorak, sinus, mastoid, paru-paru: terdapat proses suppurative.

2. CT scan: adanya lokasi abses dan ventrikel terjadi perubahan ukuran. 3. MRI: sama halnya dengan CT scan yaitu adanya lokasi abses dan ventrikel terjadi perubahan ukuran. 4. Biopsi otak: mengetahui jenis kuman patogen. 5. Lumbal Pungsi: meningkatnya sel darah putih, glukosa normal, protein (kontraindikasi pada kemungkinan terjadi herniasi karena peningkatan TIK).

meningkat

II. 6. Penatalaksanaan Penetalaksaan medis yang dilakukan pada abses otak, yaitu: 1. Penatalaksaan Umum a. Support nutrisi: tinggi kalori dan tinggi protein. b. Terapi peningktan TIK c. Support fungsi tanda vital d. fisioterapi 2. Pembedahan 3. Pengobatan a. Antibiotik: Penicillin G, Chlorampenicol, Nafcillin, Matronidazole. b. Glococorticosteroid: Dexamethasone c. Anticonvulsants: Oilantin.

II. 7. Komplikasi Kemungkinan komplikasi yang akan terjadi pada pasien dengan abses otak adalah: 1. Gangguan mental 2. Paralisis, 3. Kejang 4. Defisit neurologis fokal 5. Hidrosephalus 6. Herniasi

BAB III KONSEP KEPERAWATAN

III. 1. Pengkajian 1. Identitas klien dan psikososial a. usia, b. Jenis kelamin c. Pendidikan d. Alamat e. Pekerjaan f. Agama g. Suku bangsa h. Reran keluarga i. Penampilan sebelum sakit j. Mekanisme koping k. Tempat tinggal yang kumuh 2. Keluhan utama: nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran. 3. Riwayat penyakit sekarang: demam, anoreksi dan malaise, peninggikatan tekanan intrakranial serta gejala nerologik fokal . 4. Riwayat penyakit dahulu: pernah atau tidak menderita infeksi telinga (otitis media, mastoiditis) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis,abses paru,empiema), jantung (endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit. 5. Pemeriksaan fisik a. Tingkat kesadaran b. Nyeri kepala c. Nystagmus d. Ptosis

e. Gangguan pendengaran dan penglihatan f. Peningkatan sushu tubuh g. Paralisis/kelemahan otot h. Perubahan pola napas i. Kejang j. Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial k. Kaku kuduk l. Tanda brudzinski’s dan kernig’s positif 6. Pola fungsi kesehatan a. Aktivitas/istirahat Gejala: malaise Tanda: ataksia,masalah berjalan,kelumpuhan,gerakan involunter. b. Sirkulasi Gejala: adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis Tanda: TD meningkat,nadi menurun (berhubungan peningkatan TIK dan pengaruh pada vasomotor). c. Eliminasi Tanda: adanya inkontensia dan/atau retensi d. Nutrisi Gejala: kehilangan nafsu makan,disfagia (pada periode akut). Tanda: anoreksia,muntah.turgor kulit jelek,membran mukosa kering. e. Higiene Tanda: ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri(pada periode akut) f. Neurosensori Gejala: sakit kepala,parestesia,timbul kejang, gangguan penglihatan Tanda: penurunan status mental dan kesadaran,kehilangan memori, sulit dalam mengambil keputusan,afasia,mata; pupil unisokor (peningkatan TIK),nistagmus.kejang umum lokal. g. Nyeri /kenyamanan Gejala: Sakit kepala mungkin akan diperburuk oleh ketegangan pada leher/punggung kaku. Tanda: tampak terus terjaga. Menangis/mengeluh.

h. Pernapasan Gejala: adanya riwayat infeksi sinus atau paru Tanda: peningkatan kerja pernapasan ( episode awal ). Perubahan mental (letargi sampai koma) dan gelisah. i. Keamanan Gejala: adanya riwayat ISPA/infeksi lain meliputi ; mastoiditis, telinga tengah, sinus,abses gigi; infeksi pelvis,abdomen atau kulit;fungsi lumbal, pembedahan, fraktur pada tengkorak/cedera kepala. Tanda: suhu meningkat, diaforesis, menggigil. Kelemahan secara umum; tonus otot flaksid atau spastik;paralisis atau parese.Gangguan sensasi.

III. 2. Diagnosa Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan abses otak, yaitu: 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses peradangan, peningkatan tekanan intra kranial (TIK) Ditandai dengan : Data Subjektif (DS): a. Klien mengatakan nyeri kepala b. Klien mengatakan merasa mual c. Klien mengatakan merasa lemah d. Klien mengatakan bahwa pandangannya kabur Data Objektif (DO): a. Perubahan kesadaran b. Perubahan tanda vital c. Perubahan pola napas, bradikardia d. Nyeri kepala e. Muntah f. Kelemahan motorik g. Kerusakan pada Nervus kranial III, IV, VI, VII, VIII h. Refleks patologis i. Perubahan nilai ACD j. Hasil pemeriksaan CT scan adanya edema serebri, abses

2. Resiko injuri: jatuh berhubungan dengan aktivitas kejang, penurunan kesadaran dan status mental. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Kelurga klien mengatakan bahwa klien mengalami penurunan kesadaran. Data Objektif (DO): a. Penurunan kesadaran b. Aktivitas kejang c. Perubahan status mental 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan umum, defisit neurologik. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien mengatakan lemah. Data Objektif (DO): a. Paralisis, parese, hemiplegia, tremor b. Kekuatan otot kurang c. Kontraktur, atropi. 4. Hipertermia berhubungan dengan infeksi Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien mengatakan demam dan rasa haus. Data Objektif (DO): a. Suhu tubuh diatas 38o C. b. Perubahan tanda vital c. Kulit kering d. Peningkatan leukosit 5. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan intake tidak adekuat, kehilangan cairan. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS):

Pasien mengatakan demam dan rasa haus, muntah Data Objektif (DO): a. Suhu tubuh di atas 38oC. b. Turgor kulit kurang c. Mukosa mulut kering d. Urine pekat e. Perubahan nilai elektrolit 6. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, kelemahan, mual dan muntah, intake yang tidak adekuat. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien mengatakan tidak nafsu makan, mual dan muntah. Data Objektif (DO): a. Pasien tidak menghabiskan makanan yang telah disediakan b. Diet makan c. Penurunan BB d. Adanya tanda-tanda kekurangan nutrisi: anemis, cepat lelah. e. Hb dan Albumin kurang dari normal f. Tekanan darah kurang dari normal. 7. Nyeri berhubungan dengan nyeri kepala, kaku kuduk, iritasi meningeal. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien menguluh nyeri kepala, kaku pada leher dan merasa tidak nyaman. Data Objektif (DO): a. Ekspresi wajah menunjukkan rasa nyeri b. Kaku kuduk positif III. 3. Intervensi Intervensi yang direncanakan pada klien dengan abses otak, yaitu:

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses peradangan, peningkatan tekanan intra kranial (TIK) Kriteria hasil: a. Mempertahankan tingkat kesadaran dan orientasi b. Tanda vital dalam batas normal c. Tidak terjadi defisit neurologi Intervensi: a. Monitor status neurologi setiap 2 jam: tingkat kesadaran, pupil, refleks, kemampuan motorik, nyri kepala, kaku kuduk. R/ : Tanda dari iritasi meningeal terjadi akibat peradangan dan mengakibatkan peningkatan TIK. b. Monitor tanda vital dan temperatur setiap 2 jam. R/ : perubahan tekanan nadi dan bradikardia indikasi herniasi otak dan peningkatan TIK. c. Kurangi aktivitas yang dapat menimbulkan peningkatan TIK: batuk, mengedan, muntah, menahan napas. R/ : Menhindari peningktan TIK. d. Berikan waktu istirahat yang cukup dan kurangi stimulus lingkungan. R/ : mengurangi peningkatan TIK. e. Tinggikan posisi kepala 30-40o pertahankan kepala pada posisi neutral, hindari fleksi leher. R/ : Memfasilitasi kelancaran aliran darah vena. f. Kolaborasi dalam pemberian diuretik osmotik, steroid, oksigen, antibiotik. R/ : Mengurangi edema serebral, memenuhi kebutuhan oksigenasi, menghilangkan faktor penyebab. 2. Resiko injuri: jatuh berhubungan dengan aktivitas kejang, penurunan kesadaran dan status mental. Kriteria hasil: a. Mempertahankan tingkat kesadaran dan orientasi b. Kejang tidak terjadi c. Injuri tidak terjadi Intervensi: a. Kaji status neurologi setiap 2 jam. R/ : Menentukan keadaan pasien dan resiko kejang.

b. Pertahankan keamanan pasien seperti penggunaan penghalangtempat tidur, kesiapan suction, spatel, oksigen. R/ : Mengurangi resiko injuri dan mencegah obstruksi pernapasan. c. Catat aktivitas kejang dan tinggal bersama pasien selama kejang. R/ : Merencanakan intervensi lebih lanjut dan mengurangi kejang. d. Kaji status neurologik dan tanda vital setelah kejang. R/ : Mengetahui respon post kejang. e. Orientasikan pasien ke lingkungan. R/ : Setelah kejang kemungkinan pasien disorientasi. f. Kolaborasi dalal pemberian obat anti kejang. R/ : Mengurangi resiko kejang / menghentikan kejang. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan umum, defisit neurologik. Kriteria hasil: a. Pasien dapat mempertahankan mobilisasinya secara optimal. b. Integritas kulit utuh. c. Tidak terjadi atropi. d. Tidak terjadi kontraktur. Intervensi: a. Kaji kemampuan mobilisasi. R/ : Hemiparese mungkin dapat terjadi. b. Alih posisi pasien setiap 2 jam. R/ : Menghindari kerusakan kulit. c. Lakukan masage bagian tubuh yang tertekan. R/ : Melancarkan aliran darah dan mencegah dekubitus. d. Lakukan ROM pasive. R/ : Menghindari kontraktur dan atropi. e. Monitor tromboemboli, konstipasi. R/ : Komplikasi immobilitas. f. Konsul pada ahli fisioterapi jika diperlukan.

R/ : Perencanaan yang penting lebih lanjut. 4. Hipertermia berhubungan dengan infeksi Kriteria Hasil: a. Suhu tubuh normal 36,5 – 37, 5o C. b. Tanda vital normal. c. Turgor kulit baik. d. Pengeluaran urine tidak pekat, elektrolit dalam batas normal. Intervensi: a. Monitor suhu setiap 2 jam. R/ : Mengetahui suhu tubuh. b. Monitor tanda vital. R/ : Efek dari peningkatan suhu adalah perubahan nadi, pernapasan dan tekanan darah. c. Monitor tanda-tanda dehidrasi. R/ : Tubuh dapat kehilngan cairan melalui kulit dan penguapan. d. Berikan obat anti pireksia. R/ : Mengurangi suhu tubuh. e. Berikan minum yang cukup 2000 cc/hari. R/ : Mencegah dehidrasi. f. Lakukan kompres dingin dan hangat. R/ : Mengurangi suhu tubuh melalui proses konduksi. g. Monitor tanda-tanda kejang. R/ : Suhu tubuh yang panas berisiko terjadi kejang. 5. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan intake tidak adekuat, kehilangan cairan. Kriteria Hasil : a. Suhu tubuh normal 36,5 – 37, 5o C. b. Tanda vital normal. c. Turgor kulit baik. d. Pengeluaran urine tidak pekat, elektrolit dalam batas normal. Intervensi:

a. Ukur tanda vital setiap 4 jam. R/ : Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit menimbulkan perubahan tanda vital seperti penurunan tekanan darah, dan peningkatan nadi. b. Monitir hasil pemeriksaan laboratorium terutama elektrolit. R/ : Mengetahui perbaikan atau ketidak seimbangan cairan dan elektrolit. c. Observasi tanda-tanda dehidrasi. R/ : Mencegah secara dini terjadinya dehidrasi. d. Catat intake dan output cairan. R/ : Mengetahui keseimbangan cairan. e. Berikan minuman dalam porsi sedikit tetapi sering. R/ : Mengurangi distensi gaster. f. Pertahankan temperatur tubuh dalam batas normal. R/ : Peningkatan temperatur mengakibatkan pengeluaran cairan lewat kulit bertambah. g. Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena. R/ : Pemenuhan kebutuhan cairan dengan IV akan mempercepat pemulihan dehidrasi. h. Pertahankan dan monitor tekanan vena setral. R/ : Tekanan vena sentral untuk mengetahui keseimbangan cairan. 6. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, kelemahan, mual dan muntah, intake yang tidak adekuat. Kriteria hasil: a. Nafsu makan pasien baik. b. Pasien dapat menghabiskan makanan yang telah disediakan RS. c. Terjadi peningkatan BB secara bertahap. d. Tanda-tanda kurang nutrisi tidak ada. e. Hb dan albumin dalam batas normal. f. Tanda vital normal. Intervensi: a. Kaji makanan kesukaan pasien. R/ : Meningkatkan selera makan pasien.

b. Berikan makan dalam porsi kecil tapi sering. R/ : Menhindari mual dan muntah. c. Hindari berbaring kurang 1 jam setelah makan. R/ : Posisi berbaring saat makanan dalam lambung penuh dapat mengakibatkan refluks dan tidak nyaman. d. Timbang BB 3 hari sekali secara periodik. R/ : Penuruna BB berarti kebutuhan makanan kurang. e. Berikan antiemetik 1 jam sebelum makan. R/ : Menekan rasa mual dan muntah. f. Kurangi minum sebelum makan. R/ : Minum yang banyak sebelum makan mengurangi intake makanan. g. Hindari keadaan yang dapat menggangu selera makan: lingkungan kotor, bau, kebersihan tempat makan, suara gaduh. R/ : Meningkatkan selera makan. h. Sajikan makanan dalam keadaan hangat dan hygiene, menarik. R/ : Meningkatkan selera makan. i. Lakukan perawatan mulut. R/ : Meningkatkan nafsu makan. j. Monitor kadar Hb dan albumin. R/ : Mengetahui status nutrisi. 7. Nyeri berhubungan dengan nyeri kepala, kaku kuduk, iritasi meningeal. Kriteria hasil: a. Nyeri berkurang atau tidak terjadi b. Ekspresi wajah tidak menunjukkan rasa nyeri c. Tanda vital dalam batas normal. Intervensi a. Kaji tingkat nyeri pasien. R/ : Mengetahui derajat nyeri pasien. b. Kaji faktor yang dapat meringankan dan memperberat nyeri.

R/ : Mengetahui penanganan yang efektif. c. Lakukan perubahan posisi. R/ : Meningkatkan rasa nyaman. d. Jaga lingkungan untuk tetap nyaman: mengurangi cahaya, keadaan bising. R/ : Meningkatkan rasa nyaman. e. Lakukan massage pada daerah yang nyeri secara lembut, kompres hangat. R/ : Meningkatkan relaksasi. f. Berikan obat analgetik sesuai program. R/ : Mengurangi nyeri.

III. 4. Implementasi Implementasi atau tindakan keperawatan yang dilakukan berdasarkan intervensi pada pasien abses otak, yaitu: 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses peradangan, peningkatan tekanan intra kranial (TIK) Implementasi: a. Memonitor status neurologi setiap 2 jam: tingkat kesadaran, pupil, refleks, kemampuan motorik, nyri kepala, kaku kuduk. b. Memonitor tanda vital dan temperatur setiap 2 jam. c. Mengurangi aktivitas yang dapat menimbulkan peningkatan TIK: batuk, mengedan, muntah, menahan napas. d. Memberikan waktu istirahat yang cukup dan kurangi stimulus lingkungan. e. Meninggikan posisi kepala 30-40o pertahankan kepala pada posisi neutral, hindari fleksi leher. g. Mengkolaborasi dalam pemberian diuretik osmotik, steroid, oksigen, antibiotik. 2. Resiko injuri: jatuh berhubungan dengan aktivitas kejang, penurunan kesadaran dan status mental. Implementasi: a. Mengkaji status neurologi setiap 2 jam. b. Mempertahankan keamanan pasien seperti penggunaan penghalang tempat tidur, kesiapan suction, spatel, oksigen. c. Mencatat aktivitas kejang dan tinggal bersama pasien selama kejang.

d. Mengkaji status neurologik dan tanda vital setelah kejang. e. Mengorientasikan pasien ke lingkungan. f. Mengkolaborasi dalam pemberian obat anti kejang. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan umum, defisit neurologik. Implementasi: a. Mengkaji kemampuan mobilisasi. b. Mengalih posisi pasien setiap 2 jam. c. Melakukan masage bagian tubuh yang tertekan. d. Melakukan ROM pasive. e. Memonitor tromboemboli, konstipasi. f. Mengkonsultasikan pada ahli fisioterapi jika diperlukan. 4. Hipertermia berhubungan dengan infeksi Implementasi: a. Memonitor suhu setiap 2 jam. b. Memonitor tanda vital. c. Memonitor tanda-tanda dehidrasi. d. Memberikan obat anti pireksia. e. Memberikan minum yang cukup 2000 cc/hari. f. Melakukan kompres dingin dan hangat. g. Memonitor tanda-tanda kejang. 5. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan intake tidak adekuat, kehilangan cairan. Implementasi: a. Mengukur tanda vital setiap 4 jam. b. Memonitir hasil pemeriksaan laboratorium terutama elektrolit. c. Mengobservasi tanda-tanda dehidrasi. d. Mencatat intake dan output cairan. e. Memberikan minuman dalam porsi sedikit tetapi sering. f. Mempertahankan temperatur tubuh dalam batas normal. g. Mengkolaborasi dalam pemberian cairan intravena.

h. Mempertahankan dan monitor tekanan vena setral. 6. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, kelemahan, mual dan muntah, intake yang tidak adekuat. Implementasi: a. Mengkaji makanan kesukaan pasien. b. Memberikan makan dalam porsi kecil tapi sering. c. Menhindari berbaring kurang 1 jam setelah makan. d. Menimbang BB 3 hari sekali secara periodik. e. Memberikan antiemetik 1 jam sebelum makan. f. Mengurangi minum sebelum makan. g. Menghindari keadaan yang dapat menggangu selera makan: lingkungan kotor, bau, kebersihan tempat makan, suara gaduh. h. Menyajikan makanan dalam keadaan hangat dan hygiene, menarik. i. Melakukan perawatan mulut. j. Memonitor kadar Hb dan albumin. 7. Nyeri berhubungan dengan nyeri kepala, kaku kuduk, iritasi meningeal. Implementasi: a. Mengkaji tingkat nyeri pasien. b. Mengkaji faktor yang dapat meringankan dan memperberat nyeri. c. Melakukan perubahan posisi. d. Menjaga lingkungan untuk tetap nyaman: mengurangi cahaya, keadaan bising. e. Melakukan massage pada daerah yang nyeri secara lembut, kompres hangat. f. Memberikan obat analgetik sesuai program.

III. 5. Evaluasi Hasil evaluasi yang diharapkan setelah dilakukan implementasi dari intervensi yang direncanakan, yaitu: 1. Mencapai perubahan tingkat kesadaran dan orientasi yang meningkat. a. Menunjukkan peningkatan kesadaran b. Pandangan bagus

c. Menurunnya kelemahan motorik d. Tanda vital dalam batas normal e. Menunjukkan tidak terjadinya defisit neurologi f. Menunjukkan tidak adanya refleks patologis. 2. Tidak terjadinya resiko yang dapat menyebabkan injuri a. Menunjukkan peningkatan kesadaran b. Tidak terjadi kejang c. Peningkatan satus mental 3. Klien mampu beradaptasi terhadap ganggaun mobilitas fisik yang dialami a. Menunjukkan mobilisasi secara aktif dan optimal b. Menunjukkan integritas kulit yang utuh c. Tidak terjadinya atropi d. Tidak terjadinya kontraktur. e. Menetapkan program istirahat dan latihan yang seimbang. f. Menunjukkan partisipasi dalam perawatan. g. Menetapkan maantaati jadwal medikasi yang memaksimalkan kekuatan otot. h. Tidak adanya komplikasi berhubungan dengan immobilitas yang dialami. 4. Mencapai penurunan suhu tubuh a. Menunjukkan tanda vital yang normal b. Menunjukkan pengeluaran urine yang tidak pekat c. Menunjukkan suhu tubuh normal d. Menunjukkan turgor kulit yang baik 5. Mencapai kebutuhan nutrisi yang terpenuhi a. Menunjukkan tanda-tanda nutrisi yang terpenuhi. b. Mentaati program medikasi c. Menujukkan nafsu makan yang baik d. Menunjukkan intake makanan yang baik. e. Menunjukkan peningkatan berat badan.

BAB IV PENUTUP

IV. 1. Kesimpulan Abses otak (AO) adalah suatu reaksi piogenik yang terlokalisir pada jaringan otak. Kasus ini bisa terjadi pada anak dan dewasa. Infeksi yang terjadi diakibatkan oleh jamur, bakteri, parasit dan komplikasi lain, misalnya otitis media dan mastoiditis. Pada pasien yang mengalami abses otak akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: gangguan mental, paralisis, kejang, defisit neurologis fokal, hidrosephalus serta herniasi. Kasus ini dapat menyebabkan masalah keperawatan, seperti: perubahan perfusi jaringan serebral, resiko injuri, kerusakan mobilitas fisik, hipertermia, ketidakseimbangan cairan, nutrisi kurang dari kebutuhan serta nyeri.

IV. 2. Saran Abses otak dapat menyebabkan perubahan status kesehatan pada penderitanya serta dapat menimbulkan komplikasi yang dapat memperparah kondisi prognosis pada klien dengan kasus tersebut. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC: Jakarta

Guyton. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi. EGC: Jakarta.

Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi I. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Jukarnain. 2011. Keperawatan Medikal – Bedah gangguan Sistem Persarafan.

Long,

Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.

Proses

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6. EGC: Jakarta.

1. Gangguan mental 2. Paralisis, 3. Kejang 4. Defisit neurologis fokal 5. Hidrosephalus 6. Herniasi

BAB III KONSEP KEPERAWATAN

III. 1. Pengkajian 1. Identitas klien dan psikososial a. usia, b. Jenis kelamin c. Pendidikan d. Alamat e. Pekerjaan f. Agama g. Suku bangsa h. Reran keluarga i. Penampilan sebelum sakit j. Mekanisme koping k. Tempat tinggal yang kumuh 2. Keluhan utama: nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran. 3. Riwayat penyakit sekarang: demam, anoreksi dan malaise, peninggikatan tekanan intrakranial serta gejala nerologik fokal . 4. Riwayat penyakit dahulu: pernah atau tidak menderita infeksi telinga (otitis media, mastoiditis) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis,abses paru,empiema), jantung (endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit. 5. Pemeriksaan fisik a. Tingkat kesadaran b. Nyeri kepala c. Nystagmus d. Ptosis e. Gangguan pendengaran dan penglihatan

f. Peningkatan sushu tubuh g. Paralisis/kelemahan otot h. Perubahan pola napas i. Kejang j. Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial k. Kaku kuduk l. Tanda brudzinski’s dan kernig’s positif 6. Pola fungsi kesehatan a. Aktivitas/istirahat Gejala: malaise Tanda: ataksia,masalah berjalan,kelumpuhan,gerakan involunter. b. Sirkulasi Gejala: adanya riwayat kardiopatologi, seperti endokarditis Tanda: TD meningkat,nadi menurun (berhubungan peningkatan TIK dan pengaruh pada vasomotor). c. Eliminasi Tanda: adanya inkontensia dan/atau retensi d. Nutrisi Gejala: kehilangan nafsu makan,disfagia (pada periode akut). Tanda: anoreksia,muntah.turgor kulit jelek,membran mukosa kering. e. Higiene Tanda: ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri(pada periode akut) f. Neurosensori Gejala: sakit kepala,parestesia,timbul kejang, gangguan penglihatan Tanda: penurunan status mental dan kesadaran,kehilangan memori, sulit dalam mengambil keputusan,afasia,mata; pupil unisokor (peningkatan TIK),nistagmus.kejang umum lokal. g. Nyeri /kenyamanan Gejala: Sakit kepala mungkin akan diperburuk oleh ketegangan pada leher/punggung kaku. Tanda: tampak terus terjaga. Menangis/mengeluh.

h. Pernapasan Gejala: adanya riwayat infeksi sinus atau paru Tanda: peningkatan kerja pernapasan ( episode awal ). Perubahan mental (letargi sampai koma) dan gelisah. i. Keamanan Gejala: adanya riwayat ISPA/infeksi lain meliputi ; mastoiditis, telinga tengah, sinus,abses gigi; infeksi pelvis,abdomen atau kulit;fungsi lumbal, pembedahan, fraktur pada tengkorak/cedera kepala. Tanda: suhu meningkat, diaforesis, menggigil. Kelemahan secara umum; tonus otot flaksid atau spastik;paralisis atau parese.Gangguan sensasi.

III. 2. Diagnosa Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien dengan abses otak, yaitu: 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses peradangan, peningkatan tekanan intra kranial (TIK) Ditandai dengan : Data Subjektif (DS): a. Klien mengatakan nyeri kepala b. Klien mengatakan merasa mual c. Klien mengatakan merasa lemah d. Klien mengatakan bahwa pandangannya kabur Data Objektif (DO): a. Perubahan kesadaran b. Perubahan tanda vital c. Perubahan pola napas, bradikardia d. Nyeri kepala e. Muntah f. Kelemahan motorik g. Kerusakan pada Nervus kranial III, IV, VI, VII, VIII h. Refleks patologis i. Perubahan nilai ACD j. Hasil pemeriksaan CT scan adanya edema serebri, abses

2. Resiko injuri: jatuh berhubungan dengan aktivitas kejang, penurunan kesadaran dan status mental. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Kelurga klien mengatakan bahwa klien mengalami penurunan kesadaran. Data Objektif (DO): a. Penurunan kesadaran b. Aktivitas kejang c. Perubahan status mental 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan umum, defisit neurologik. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien mengatakan lemah. Data Objektif (DO): a. Paralisis, parese, hemiplegia, tremor b. Kekuatan otot kurang c. Kontraktur, atropi. 4. Hipertermia berhubungan dengan infeksi Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien mengatakan demam dan rasa haus. Data Objektif (DO): a. Suhu tubuh diatas 38o C. b. Perubahan tanda vital c. Kulit kering d. Peningkatan leukosit 5. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan intake tidak adekuat, kehilangan cairan. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS):

Pasien mengatakan demam dan rasa haus, muntah Data Objektif (DO): a. Suhu tubuh di atas 38oC. b. Turgor kulit kurang c. Mukosa mulut kering d. Urine pekat e. Perubahan nilai elektrolit 6. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, kelemahan, mual dan muntah, intake yang tidak adekuat. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien mengatakan tidak nafsu makan, mual dan muntah. Data Objektif (DO): a. Pasien tidak menghabiskan makanan yang telah disediakan b. Diet makan c. Penurunan BB d. Adanya tanda-tanda kekurangan nutrisi: anemis, cepat lelah. e. Hb dan Albumin kurang dari normal f. Tekanan darah kurang dari normal. 7. Nyeri berhubungan dengan nyeri kepala, kaku kuduk, iritasi meningeal. Ditandai dengan: Data Subjektif (DS): Pasien menguluh nyeri kepala, kaku pada leher dan merasa tidak nyaman. Data Objektif (DO): a. Ekspresi wajah menunjukkan rasa nyeri b. Kaku kuduk positif III. 3. Intervensi Intervensi yang direncanakan pada klien dengan abses otak, yaitu:

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses peradangan, peningkatan tekanan intra kranial (TIK) Kriteria hasil: a. Mempertahankan tingkat kesadaran dan orientasi b. Tanda vital dalam batas normal c. Tidak terjadi defisit neurologi Intervensi: a. Monitor status neurologi setiap 2 jam: tingkat kesadaran, pupil, refleks, kemampuan motorik, nyri kepala, kaku kuduk. R/ : Tanda dari iritasi meningeal terjadi akibat peradangan dan mengakibatkan peningkatan TIK. b. Monitor tanda vital dan temperatur setiap 2 jam. R/ : perubahan tekanan nadi dan bradikardia indikasi herniasi otak dan peningkatan TIK. c. Kurangi aktivitas yang dapat menimbulkan peningkatan TIK: batuk, mengedan, muntah, menahan napas. R/ : Menhindari peningktan TIK. d. Berikan waktu istirahat yang cukup dan kurangi stimulus lingkungan. R/ : mengurangi peningkatan TIK. e. Tinggikan posisi kepala 30-40o pertahankan kepala pada posisi neutral, hindari fleksi leher. R/ : Memfasilitasi kelancaran aliran darah vena. f. Kolaborasi dalam pemberian diuretik osmotik, steroid, oksigen, antibiotik. R/ : Mengurangi edema serebral, memenuhi kebutuhan oksigenasi, menghilangkan faktor penyebab. 2. Resiko injuri: jatuh berhubungan dengan aktivitas kejang, penurunan kesadaran dan status mental. Kriteria hasil: a. Mempertahankan tingkat kesadaran dan orientasi b. Kejang tidak terjadi c. Injuri tidak terjadi Intervensi: a. Kaji status neurologi setiap 2 jam. R/ : Menentukan keadaan pasien dan resiko kejang.

b. Pertahankan keamanan pasien seperti penggunaan penghalangtempat tidur, kesiapan suction, spatel, oksigen. R/ : Mengurangi resiko injuri dan mencegah obstruksi pernapasan. c. Catat aktivitas kejang dan tinggal bersama pasien selama kejang. R/ : Merencanakan intervensi lebih lanjut dan mengurangi kejang. d. Kaji status neurologik dan tanda vital setelah kejang. R/ : Mengetahui respon post kejang. e. Orientasikan pasien ke lingkungan. R/ : Setelah kejang kemungkinan pasien disorientasi. f. Kolaborasi dalal pemberian obat anti kejang. R/ : Mengurangi resiko kejang / menghentikan kejang. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan umum, defisit neurologik. Kriteria hasil: a. Pasien dapat mempertahankan mobilisasinya secara optimal. b. Integritas kulit utuh. c. Tidak terjadi atropi. d. Tidak terjadi kontraktur. Intervensi: a. Kaji kemampuan mobilisasi. R/ : Hemiparese mungkin dapat terjadi. b. Alih posisi pasien setiap 2 jam. R/ : Menghindari kerusakan kulit. c. Lakukan masage bagian tubuh yang tertekan. R/ : Melancarkan aliran darah dan mencegah dekubitus. d. Lakukan ROM pasive. R/ : Menghindari kontraktur dan atropi. e. Monitor tromboemboli, konstipasi. R/ : Komplikasi immobilitas. f. Konsul pada ahli fisioterapi jika diperlukan.

R/ : Perencanaan yang penting lebih lanjut. 4. Hipertermia berhubungan dengan infeksi Kriteria Hasil: a. Suhu tubuh normal 36,5 – 37, 5o C. b. Tanda vital normal. c. Turgor kulit baik. d. Pengeluaran urine tidak pekat, elektrolit dalam batas normal. Intervensi: a. Monitor suhu setiap 2 jam. R/ : Mengetahui suhu tubuh. b. Monitor tanda vital. R/ : Efek dari peningkatan suhu adalah perubahan nadi, pernapasan dan tekanan darah. c. Monitor tanda-tanda dehidrasi. R/ : Tubuh dapat kehilngan cairan melalui kulit dan penguapan. d. Berikan obat anti pireksia. R/ : Mengurangi suhu tubuh. e. Berikan minum yang cukup 2000 cc/hari. R/ : Mencegah dehidrasi. f. Lakukan kompres dingin dan hangat. R/ : Mengurangi suhu tubuh melalui proses konduksi. g. Monitor tanda-tanda kejang. R/ : Suhu tubuh yang panas berisiko terjadi kejang. 5. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan intake tidak adekuat, kehilangan cairan. Kriteria Hasil : a. Suhu tubuh normal 36,5 – 37, 5o C. b. Tanda vital normal. c. Turgor kulit baik. d. Pengeluaran urine tidak pekat, elektrolit dalam batas normal. Intervensi:

a. Ukur tanda vital setiap 4 jam. R/ : Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit menimbulkan perubahan tanda vital seperti penurunan tekanan darah, dan peningkatan nadi. b. Monitir hasil pemeriksaan laboratorium terutama elektrolit. R/ : Mengetahui perbaikan atau ketidak seimbangan cairan dan elektrolit. c. Observasi tanda-tanda dehidrasi. R/ : Mencegah secara dini terjadinya dehidrasi. d. Catat intake dan output cairan. R/ : Mengetahui keseimbangan cairan. e. Berikan minuman dalam porsi sedikit tetapi sering. R/ : Mengurangi distensi gaster. f. Pertahankan temperatur tubuh dalam batas normal. R/ : Peningkatan temperatur mengakibatkan pengeluaran cairan lewat kulit bertambah. g. Kolaborasi dalam pemberian cairan intravena. R/ : Pemenuhan kebutuhan cairan dengan IV akan mempercepat pemulihan dehidrasi. h. Pertahankan dan monitor tekanan vena setral. R/ : Tekanan vena sentral untuk mengetahui keseimbangan cairan. 6. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, kelemahan, mual dan muntah, intake yang tidak adekuat. Kriteria hasil: a. Nafsu makan pasien baik. b. Pasien dapat menghabiskan makanan yang telah disediakan RS. c. Terjadi peningkatan BB secara bertahap. d. Tanda-tanda kurang nutrisi tidak ada. e. Hb dan albumin dalam batas normal. f. Tanda vital normal. Intervensi: a. Kaji makanan kesukaan pasien. R/ : Meningkatkan selera makan pasien.

b. Berikan makan dalam porsi kecil tapi sering. R/ : Menhindari mual dan muntah. c. Hindari berbaring kurang 1 jam setelah makan. R/ : Posisi berbaring saat makanan dalam lambung penuh dapat mengakibatkan refluks dan tidak nyaman. d. Timbang BB 3 hari sekali secara periodik. R/ : Penuruna BB berarti kebutuhan makanan kurang. e. Berikan antiemetik 1 jam sebelum makan. R/ : Menekan rasa mual dan muntah. f. Kurangi minum sebelum makan. R/ : Minum yang banyak sebelum makan mengurangi intake makanan. g. Hindari keadaan yang dapat menggangu selera makan: lingkungan kotor, bau, kebersihan tempat makan, suara gaduh. R/ : Meningkatkan selera makan. h. Sajikan makanan dalam keadaan hangat dan hygiene, menarik. R/ : Meningkatkan selera makan. i. Lakukan perawatan mulut. R/ : Meningkatkan nafsu makan. j. Monitor kadar Hb dan albumin. R/ : Mengetahui status nutrisi. 7. Nyeri berhubungan dengan nyeri kepala, kaku kuduk, iritasi meningeal. Kriteria hasil: a. Nyeri berkurang atau tidak terjadi b. Ekspresi wajah tidak menunjukkan rasa nyeri c. Tanda vital dalam batas normal. Intervensi a. Kaji tingkat nyeri pasien. R/ : Mengetahui derajat nyeri pasien. b. Kaji faktor yang dapat meringankan dan memperberat nyeri.

R/ : Mengetahui penanganan yang efektif. c. Lakukan perubahan posisi. R/ : Meningkatkan rasa nyaman. d. Jaga lingkungan untuk tetap nyaman: mengurangi cahaya, keadaan bising. R/ : Meningkatkan rasa nyaman. e. Lakukan massage pada daerah yang nyeri secara lembut, kompres hangat. R/ : Meningkatkan relaksasi. f. Berikan obat analgetik sesuai program. R/ : Mengurangi nyeri.

III. 4. Implementasi Implementasi atau tindakan keperawatan yang dilakukan berdasarkan intervensi pada pasien abses otak, yaitu: 1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan proses peradangan, peningkatan tekanan intra kranial (TIK) Implementasi: a. Memonitor status neurologi setiap 2 jam: tingkat kesadaran, pupil, refleks, kemampuan motorik, nyri kepala, kaku kuduk. b. Memonitor tanda vital dan temperatur setiap 2 jam. c. Mengurangi aktivitas yang dapat menimbulkan peningkatan TIK: batuk, mengedan, muntah, menahan napas. d. Memberikan waktu istirahat yang cukup dan kurangi stimulus lingkungan. e. Meninggikan posisi kepala 30-40o pertahankan kepala pada posisi neutral, hindari fleksi leher. g. Mengkolaborasi dalam pemberian diuretik osmotik, steroid, oksigen, antibiotik. 2. Resiko injuri: jatuh berhubungan dengan aktivitas kejang, penurunan kesadaran dan status mental. Implementasi: a. Mengkaji status neurologi setiap 2 jam. b. Mempertahankan keamanan pasien seperti penggunaan penghalang tempat tidur, kesiapan suction, spatel, oksigen. c. Mencatat aktivitas kejang dan tinggal bersama pasien selama kejang.

d. Mengkaji status neurologik dan tanda vital setelah kejang. e. Mengorientasikan pasien ke lingkungan. f. Mengkolaborasi dalam pemberian obat anti kejang. 3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan umum, defisit neurologik. Implementasi: a. Mengkaji kemampuan mobilisasi. b. Mengalih posisi pasien setiap 2 jam. c. Melakukan masage bagian tubuh yang tertekan. d. Melakukan ROM pasive. e. Memonitor tromboemboli, konstipasi. f. Mengkonsultasikan pada ahli fisioterapi jika diperlukan. 4. Hipertermia berhubungan dengan infeksi Implementasi: a. Memonitor suhu setiap 2 jam. b. Memonitor tanda vital. c. Memonitor tanda-tanda dehidrasi. d. Memberikan obat anti pireksia. e. Memberikan minum yang cukup 2000 cc/hari. f. Melakukan kompres dingin dan hangat. g. Memonitor tanda-tanda kejang. 5. Ketidakseimbangan cairan berhubungan dengan intake tidak adekuat, kehilangan cairan. Implementasi: a. Mengukur tanda vital setiap 4 jam. b. Memonitir hasil pemeriksaan laboratorium terutama elektrolit. c. Mengobservasi tanda-tanda dehidrasi. d. Mencatat intake dan output cairan. e. Memberikan minuman dalam porsi sedikit tetapi sering. f. Mempertahankan temperatur tubuh dalam batas normal. g. Mengkolaborasi dalam pemberian cairan intravena.

h. Mempertahankan dan monitor tekanan vena setral. 6. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, kelemahan, mual dan muntah, intake yang tidak adekuat. Implementasi: a. Mengkaji makanan kesukaan pasien. b. Memberikan makan dalam porsi kecil tapi sering. c. Menhindari berbaring kurang 1 jam setelah makan. d. Menimbang BB 3 hari sekali secara periodik. e. Memberikan antiemetik 1 jam sebelum makan. f. Mengurangi minum sebelum makan. g. Menghindari keadaan yang dapat menggangu selera makan: lingkungan kotor, bau, kebersihan tempat makan, suara gaduh. h. Menyajikan makanan dalam keadaan hangat dan hygiene, menarik. i. Melakukan perawatan mulut. j. Memonitor kadar Hb dan albumin. 7. Nyeri berhubungan dengan nyeri kepala, kaku kuduk, iritasi meningeal. Implementasi: a. Mengkaji tingkat nyeri pasien. b. Mengkaji faktor yang dapat meringankan dan memperberat nyeri. c. Melakukan perubahan posisi. d. Menjaga lingkungan untuk tetap nyaman: mengurangi cahaya, keadaan bising. e. Melakukan massage pada daerah yang nyeri secara lembut, kompres hangat. f. Memberikan obat analgetik sesuai program.

III. 5. Evaluasi Hasil evaluasi yang diharapkan setelah dilakukan implementasi dari intervensi yang direncanakan, yaitu: 1. Mencapai perubahan tingkat kesadaran dan orientasi yang meningkat. a. Menunjukkan peningkatan kesadaran b. Pandangan bagus

c. Menurunnya kelemahan motorik d. Tanda vital dalam batas normal e. Menunjukkan tidak terjadinya defisit neurologi f. Menunjukkan tidak adanya refleks patologis. 2. Tidak terjadinya resiko yang dapat menyebabkan injuri a. Menunjukkan peningkatan kesadaran b. Tidak terjadi kejang c. Peningkatan satus mental 3. Klien mampu beradaptasi terhadap ganggaun mobilitas fisik yang dialami a. Menunjukkan mobilisasi secara aktif dan optimal b. Menunjukkan integritas kulit yang utuh c. Tidak terjadinya atropi d. Tidak terjadinya kontraktur. e. Menetapkan program istirahat dan latihan yang seimbang. f. Menunjukkan partisipasi dalam perawatan. g. Menetapkan maantaati jadwal medikasi yang memaksimalkan kekuatan otot. h. Tidak adanya komplikasi berhubungan dengan immobilitas yang dialami. 4. Mencapai penurunan suhu tubuh a. Menunjukkan tanda vital yang normal b. Menunjukkan pengeluaran urine yang tidak pekat c. Menunjukkan suhu tubuh normal d. Menunjukkan turgor kulit yang baik 5. Mencapai kebutuhan nutrisi yang terpenuhi a. Menunjukkan tanda-tanda nutrisi yang terpenuhi. b. Mentaati program medikasi c. Menujukkan nafsu makan yang baik d. Menunjukkan intake makanan yang baik. e. Menunjukkan peningkatan berat badan.

BAB IV PENUTUP

IV. 1. Kesimpulan Abses otak (AO) adalah suatu reaksi piogenik yang terlokalisir pada jaringan otak. Kasus ini bisa terjadi pada anak dan dewasa. Infeksi yang terjadi diakibatkan oleh jamur, bakteri, parasit dan komplikasi lain, misalnya otitis media dan mastoiditis. Pada pasien yang mengalami abses otak akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: gangguan mental, paralisis, kejang, defisit neurologis fokal, hidrosephalus serta herniasi. Kasus ini dapat menyebabkan masalah keperawatan, seperti: perubahan perfusi jaringan serebral, resiko injuri, kerusakan mobilitas fisik, hipertermia, ketidakseimbangan cairan, nutrisi kurang dari kebutuhan serta nyeri.

IV. 2. Saran Abses otak dapat menyebabkan perubahan status kesehatan pada penderitanya serta dapat menimbulkan komplikasi yang dapat memperparah kondisi prognosis pada klien dengan kasus tersebut. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC: Jakarta

Guyton. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi. EGC: Jakarta.

Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi I. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

Jukarnain. 2011. Keperawatan Medikal – Bedah gangguan Sistem Persarafan.

Long,

Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.

Proses

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6. EGC: Jakarta.