TujuanmuCom

Fiqih Keluarga Islami (bagian.02) Ustazd. Muhammad Sayfudin Hakim. /JbHuPwTQ4U69MajqY1rcp2 ikhwan Sebagai orang tua, kita hendaknya mengetahui bahwa hidayah dari Allah Ta’ala itu ada dua macam. Pertama, hidayah irsyad, yaitu hidayah berupa ajakan, bimbingan atau tuntunan. Ke dua, hidayah taufik. Hidayah berupa irsyad merupakan kemampuan seseorang untuk memberikan ajakan, bimbingan, penjelasan, atau nasihat tentang sebuah kebenaran. Hidayah jenis pertama ini dimiliki oleh para Nabi secara khusus dan seluruh orang yang mengajak kembali kepada Allah Ta’ala secara umum. Allah Ta’ala berfirman, إِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ “Sesungguhnya Engkau (Muhammad) benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy–Syura [42]: 52). Sedangkan hidayah taufik merupakan kemampuan memberikan taufik kepada orang lain, yaitu agar seseorang mau menerima dan melaksanakan sebuah kebenaran. Hidayah jenis ke dua ini hanyalah khusus milik Allah Ta’ala semata. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang bersungguh-sungguh berupaya keras agar sang paman yaitu Abu Thalib mau mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah menjelang kematiannya, Allah Ta’ala pun menurunkan ayat–Nya, إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ “Sesungguhnya Engkau (Muhammad) tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu sayangi, tetapi Allah–lah yang memberi hidayah taufik kepada orang yang dikehendaki Nya. Allah lebih mengetahui orang-orang yang layak menerima hidayah taufik.” (QS. Al–Qashash [28]: 56). Demikian pula Nabi Nuh ‘alaihissalam yang memelas kepada anaknya dengan berkata padanya, يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلَا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ “Wahai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir.” (QS. Huud [11]: 42). Namun apa yang terjadi? Allah Ta’ala tidak menghendaki hidayah taufik atas anak Nabi Nuh ‘alaihissalam. Sang anak pun menjawab, قَالَ سَآَوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاءِ “Dia menjawab (dengan suara keras, pen.), ’Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah.’” (QS. Huud [11]: 43). Sang ayah pun mengatakan, قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِلَّا مَنْ رَحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ “Nuh menjawab (dengan suara keras, pen.), ‘Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang pun menjadi penghalang antara keduanya. Maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Huud [11]: 43). Ketika Nabi Nuh ‘alaihissalam sedang dikuasai oleh rasa sayang kepada sang anak, kemudian beliau pun menyeru kepada Rabb–Nya, رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ “Wahai Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji–Mu itulah yang benar. Dan Engkau adalah seadil-adil Hakim.” (QS. Huud [11]: 45). Allah Ta’ala pun menyanggah keras ucapan Nabi Nuh ‘alaihissalam, يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ “Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya (perbuatan)nya bukanlah perbuatan yang baik. Sebab itu, janganlah kamu memohon kepada–Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Huud [11]: 46). Kemudian Nuh ‘alaihissalam pun memohon ampun kepada Allah Ta’ala, رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada–Mu dari memohon kepada Engkau sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakikat)nya. Sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Huud [11]: 47). Lihatlah pula kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang berupaya sungguh-sungguh menasihati ayahandanya, يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا (42) يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا (43) يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا (44) يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا “Wahai ayahandaku, mengapa Engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? Wahai ayahandaku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahandaku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai ayahandaku, sesungguhnya aku khawatir Engkau akan ditimpa adzab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga Engkau menjadi teman setan.” (QS. Maryam [19]: 42-45). Apa jawaban sang ayah ketika sang anak memelas dengan mengatakan, “Wahai ayahanda … Wahai ayahanda … Wahai ayahanda … dan Wahai ayahanda … ?? Ternyata sang ayah menolak keras, benar-benar enggan mengikuti ajakan sang anak dan bahkan membentak anaknya, أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آَلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا “Bencikah Engkau kepada sesembahan-sesembahanku, wahai Ibrahim? Jika Engkau tidak berhenti, maka niscaya Engkau akan kurajam, dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama.” (QS. Maryam [19]: 46). Subahanallah, sungguh benar bahwa Sang Pemberi Hidayah hanyalah Allah Ta’ala. Lihatlah orang ini, dan bandingkanlah keadaannya dengan keadaan Nabi Ibrahim dan putranya, yaitu Nabi Isma’il ‘alaihimassalam. Nabi Isma’il merupakan seorang yang jujur dalam janjinya. Sang ayahanda bertutur kepada anaknya, يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى “Wahai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu.” (QS. Ash–Shaffat [37]: 102). Maha Suci Allah, Sang Pemberi Hidayah yang telah menurunkan ketenangan pada hati-hati manusia!! Nabi Isma’il ‘alaihissalam pun bertutur, يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ “Wahai ayahandaku, laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. In syaa Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash–Shaffat [37]: 102). Demikianlah kebenarannya, sesungguhnya Isma’il ‘alaihissalam tidak akan mampu menjadi orang yang sabar kecuali jika Allah Ta’ala menghendakinya. Bagaimanapun keadaan kita sebagai seorang ayah dan seorang ibunda, maka kita tidaklah memiliki hak untuk memberikan hidayah taufik sedikit pun kepada anak-anak kita. Yang dapat kita lakukan hanyalah sekedar berusaha mengambil sebab, menempuh cara dan metode tertentu untuk mendekatkan anak-anak kita kepada hidayah tersebut. Walaupun kita seorang nabi, rasul, raja yang memiliki kekuasaan, atau tokoh pembesar, maka hendaklah kita membaca firman Allah Ta’ala tentang kondisi Nabi Ibrahim dan Ishaq ‘alaihimassalam, وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَظَالِمٌ لِنَفْسِهِ مُبِينٌ “Dan di antara anak cucu keduanya (Ibrahim dan Ishaq, pen.) ada yang berbuat baik dan ada (pula) yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata.” (QS. Ash–Shaffat [37]: 113). Lihat dan pikirkanlah dengan akal dan hatimu tentang keadaan Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Beliau adalah seorang yang putih bersih, tampan luar biasa bahkan dia diberikan setengah ketampanan seluruh manusia [1]. Beliau ditemukan di sebuah sumur yang luas oleh sebagian musafir lalu dijual di pasar budak. Kemudian dibeli dan dibawa ke istana para raja yang menjadi tempat ujian baginya ketika bertemu dengan seorang istri pembesar istana yang kemudian menggodanya. Namun Yusuf ‘alaihissalam tidak mau dan menolak lalu dipenjara selama beberapa tahun. Di sana beliau tergabung bersama dengan tukang mabuk, pencuri dan berbagai pelaku kriminal. Beliau dibuang di tengah keadaan yang demikian, lantas lihatlah siapakah yang menjaganya? Lihatlah siapa yang menghindarkannya dari kejahatan dan tipu daya orang-orang yang jahat? Lihatlah siapakah yang memakaikan beliau pakaian ilmu dan hilm (ketenangan), padahal beliau sendirian, terusir dari negerinya, tiada ayah bunda dan kerabat. Siapakah yang memberikan hidayah taufik kepada beliau? Siapakah yang mensucikannya? Siapakah yang mendidiknya? Siapakah yang memeliharanya? Tidak lain, Dia–lah Allah Ta’ala. فَاللَّهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ “Maka Allah adalah sebaik-baik Penjaga dan Dia adalah Maha Penyanyang diantara para penyanyang.” (QS. Yusuf [12]: 64). Perhatikanlah pula kondisi Nabi Musa ‘alaihissalam. Beliau ketika itu adalah seorang bayi yang masih menyusu, dipisahkan dari ibunya yang penyayang. Ibundanya yang mulia dan penyayang ini menempatkan Musa ‘alaihissalam pada sebuah kotak lalu meletakkannya di sebuah sungai. Kemudian kotak tersebut ditemukan orang yang zhalim, jahat, pembunuh dan melampaui batas, yaitu keluarga Fir’aun. Betapa besar musibah ini. Namun siapakah yang mengembalikannya kepada sang ibunda agar sang ibu tenang dan tidak bersedih? Siapakah yang menjaga beliau dari keburukan dan hal-hal yang tidak diinginkan ketika berada di rumah yang penuh kezhaliman itu? Siapakah yang menjaga beliau sehingga beliau tidak belajar bagaimana cara membunuh sebagaimana Fir’aun dan memiliki rasa malu dengan anak perempuan? Sesungguhnya yang menjaga dan memeliharanya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, milik–Nya lah segala pujian. Tidak perlu jauh-jauh, Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa aallam, beliau adalah pemimpin seluruh manusia. Beliau tumbuh dalam keadaan yatim piatu, kedua orang tuanya telah wafat. Beliau juga tumbuh besar dalam keadaan miskin. Demikianlah keadaannya, namun siapakah yang menjaga beliau? Siapakah yang memasukkan iman ke dalam hatinya? Siapakah yang memberikan kepadanya wahyu Al Qur’an? Dia–lah Allah Subhanahu wa Ta’ala, milikNya–lah segala nikmat, keutamaan dan pujian yang baik. Hidayah taufik hanyalah milik Allah Ta’ala, kita hanya dapat melakukan usaha, menempuh sebab dan berusaha melaksanakan metode pendidikan yang benar kepada anak … [Bersambung] Disempurnakan menjelang maghrib, Rotterdam 29 Dzulhijjah 1437 Penulis: Aditya Budiman dan M. Saifudin Hakim Artikel Muslimah.or.id Catatan kaki: [1] Di dalam Shahih Muslim no. 162 terdapat hadits yang diriwayatkan dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, فَإِذَا أَنَا بِيُوسُفَ إِذَا هُوَ قَدْ أُعْطِىَ شَطْرَ الْحُسْنِ “Sesungguhnya aku adalah Yusuf, aku diberikan setengah dari ketampanan”